Oleh: Agus Widjajanto*
DICTUM.COM – Undang – Undang Dasar (UUD) 1945 Negara Republik Indonesia merupakan landasan hukum tertinggi yang mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satu ketentuan penting yang diatur dalam UUD 1945 adalah adanya syarat bahwa Presiden Republik Indonesia haruslah seorang “Indonesia asli”. Ketentuan ini terdapat dalam Pasal 6 ayat (1) UUD 1945. Tulisan ini akan mengulas alasan di balik ketentuan tersebut, serta paradigma yang mendasari keputusan para pendiri bangsa dalam merumuskan aturan ini.
Paradigma Para Pendiri Bangsa
1. Menjaga Identitas dan Kedaulatan Bangsa
Para pendiri bangsa Indonesia menyadari bahwa identitas suatu negara sangat ditentukan oleh pemimpin yang memimpin. Dengan menetapkan bahwa Presiden haruslah orang Indonesia asli, mereka ingin memastikan bahwa pemimpin negara memiliki ikatan yang kuat dengan budaya dan nilai – nilai yang berlaku di masyarakat. Hal ini bertujuan untuk menjaga kedaulatan bangsa dan menghindari pengaruh asing yang dapat merusak integritas dan keutuhan negara.
2. Mencegah Pengaruh Asing dalam Kepemimpinan
Sejarah perjuangan Indonesia untuk meraih kemerdekaan menunjukkan betapa pentingnya menghindari pengaruh asing dalam pemerintahan. Dengan menetapkan bahwa Presiden harus orang Indonesia asli, para pendiri bangsa berupaya mencegah kemungkinan terjadinya intervensi atau dominasi asing dalam pengambilan keputusan penting negara. Mereka ingin memastikan bahwa kepemimpinan negara sepenuhnya berada di tangan rakyat Indonesia.
3. Memahami dan Mewakili Kepentingan Rakyat
Para pendiri bangsa juga memahami bahwa seorang pemimpin yang lahir dan besar di Indonesia akan lebih memahami konteks sosial, budaya dan ekonomi masyarakatnya. Seorang Presiden yang merupakan orang Indonesia asli diharapkan mampu mewakili dan memperjuangkan kepentingan rakyat secara utuh. Hal ini penting untuk menciptakan kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat.
Baca juga: Antara Anyer Panarukan, Tragedi dan Solusi
Implementasi Ketentuan dalam UUD 1945
Ketentuan dalam Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa “Presiden ialah orang Indonesia asli”. Dalam implementasinya, ketentuan ini menjadi salah satu syarat fundamental dalam proses pemilihan presiden. Hal ini juga menjadi acuan bagi partai politik dalam mencalonkan kandidat Presiden, di mana mereka harus memastikan bahwa calon yang diajukan memenuhi syarat sebagai orang Indonesia asli.
Fenomena Terkini Bangsa
Bangsa kita merupakan bangsa berbudaya yang memegang teguh toleransi, sebagai bagian dari karakter bangsa. Ketika bangsa kita dijajah dan dikuasi Belanda, bangsa kita dianggap kaum golongan paling rendah yang mana kaum pribumi, disebut dengan sebutan “Inlanders”, sebutan yang digunakan orang Belanda untuk mengejek bangsa pribumi atau penduduk asli Indonesia saat itu. Pada saat penjajahan oleh pemerintah Hindia Belanda bangsa Eropa, khususnya Belanda menganggap mereka sebagai bangsa yang derajatnya lebih tinggi dari bangsa kita.
Dengan latar belakang sejarah atas terjadinya penjajahan tersebut dan atas dasar bahwa kaum pribumi dianggap kaum Inlanders dimana anggapan dan penghinaan tersebut telah mengoyak harga diri dan martabat para pendiri bangsa saat revolusi, yang dalam sidang BPUPKI (Badan Penyelidik usaha Persiapan Kemerdekaaan Indonesia) dan diputuskan membentuk PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaaan Indonesia) dimana PPKI telah membentuk tim kecil yang diketuai, Ir. Soekarno. Tim inilah yang merumuskan isi serta pasal – pasal dalam sebuah Kontitusi sebagai hukum dasar dan syarat berdirinya sebuah negara yang berdaulat.
Para pendiri bangsa paham betul, Indonesia setelah merdeka, sebutan Inlanders akan tetap terulang dalam kontek dan waktu yang berbeda. Disepakati saat itu dalam hukum dasar kita, bahwa syarat sebagai Presiden adalah harus orang Indonesia Asli (Pasal 6 ayat (1) UUD 1945, sebelum amandemen. Untuk menjamin melindungi Rasa Nasionalis dan menjaga Karakter bangsa, sebagai bangsa yang tetap berjiwa ke-Indonesiaan.
Baca juga: Kampung Sayyidan dalam Sejarah Perang Diponegoro dan Peran Kaum Ba’alawi Menurut Sejarawan
Pertimbangannya, situasi global saat dimana terjadi persaingan Fasisme, Sosialisme, Lineralisme ketika Sekutu beserta negara Eropa menjadi pemenang perang dunia ke-II. Sebagai bangsa yang baru berdiri, disadari harus berpegang teguh pada adat, tata cara dan martabat sebagai bangsa timur dan itu hanya bisa dipertahankan jikalau Presiden-nya tetap orang Indonesia asli.
Pijakan sejarah sebelum Indonesia merdeka menjadi pemikiran para pendiri bangsa. Dalam Undang – undang Regrerings Reglement Pada tahun 1854 oleh kolonial Hindia Belanda, masyarakat dibagi beberapa golongan yakni golongan Eropa yang kedudukannya paling tinggi setelah itu Jepang, kemudian Timur jauh (Tionghoa dan Arab) baru Bumi Putra (pribumi) yang golongan kasta-nya paling rendah.
Dalam buku mencari identitas Arab Hadramaut di Indonesia karangan Huub deJonge, masyarakat Arab yang datang ke Hindia Belanda kebanyakan dari Hadramaut Yaman karena adanya peralihan kekuasaan dari Turki Usmani ke Inggris. Sedangkan orang China yang datang kebanyakan dari Fujian, yang saat itu menguasai bidang ekonomi dan politik dan diberikan oleh kolonial Belanda untuk memecah kekuatan untuk menekan orang Bumi Putera.
Sejarawan Peter Carrey dalam bukunya, Orang China, Bandar Tol, Candu, dan Perang Jawa, mengungkap, peran keturunan golongan Timur jauh merupakan kepanjangan dari kolonial saat itu. Diberikan hak mengurus Haji, dan menagih hutang bank serta memberikan hutang dengan bunga tinggi, yang berakibat timbul nya kebencian dari orang pribumi yang bermuara kepada perang Jawa, perang Diponegoro tahun 1825- 1830 di Jawa.
Baca juga: Berdirinya Negara Kesatuan, Politik Agama dan Tuhan Yang Esa
Perang ini menguras kas Hindia Belanda hampir bangkrut. Sehingga setelah perang diterapkan tanam paksa kepada para petani.Dari sejarah Itulah pertimbangan dan pemikiran para pendiri bangsa, menetapkan dalam kontitusi bahwa Presiden harus orang Indonesia Asli, yang pada masa Reformasi justru dihapus yang menimbulkan masalah baru yang bisa kita lihat saat ini.
Prof. Hendro Priyono dalam opini-nya di detikNews tanggal 10 Januari 2024 menulis, fenomena Inlanders terjadi saat ini, dimana sudah merdeka hampir 80 tahun dengan segala hiruk – pikuknya. Menurutnya, Undang Undang nomor 40 Tahun 2008 tentang penghapusan diskriminasi, ras dan etnis, telah disalah gunakan oleh beberapa oknum keturunan Arab untuk melakukan tindakan – tindakan rasis terhadap kaum pribumi bangsa Indonesia. Diantaranya fenomena tersebut adalah pernyataan terbuka dari seorang habib bahwa belajar dari habib lebih baik dari pada belajar agama dari para kyai pribumi.
Habib adalah istilah ras Arab yang mengaku derajatnya lebih tinggi dari pada bangsa pribumi, karena adanya nazab keturunan langsung ke Rosullullullah SAW. Padahal saat Islam masuk ke Jawa dari Wali Songo, menggunakan pendekatan budaya, yang berurat akar pada masyarakat saat itu.
Sejarawan Islam dari universitas Padjajaran Bandung , Tiar Anwar Bachtiar menjelaskan bahwa “Habib” memang menjadi sebutan antropologis untuk orang – orang Hadramaut yang merupakan keturunan Nabi Muhammad SAW dari jalur Husain bin Ali.
Baca juga: Four’as Politica Dalam Pembagian Kekuasaan di Era Negara Demokrasi Modern Saat Ini
Dimana keturunan Arab dari Hadramaut Yaman tersebut diawali imigrasi ke Indonesia dan keturunan cucu Husain dari kawasan Yaman hadramaut bernama Alawi, di Indonesia disebut Alawiyin . Biasanya, keturunan Alawiyin inilah yang disebut Habib. Dimana habib sendiri hanyalah sebutan, sedangkan gelar resminya adalah Sayyid dan perempuan sayyidah . Di Indonesia keturunan Alawiyin membentuk sebuah organisasi yang salah satu tugasnya adalah pencatatan silsilah keturunan Nabi.
Organisasi ini bernama Rabithah Alawiyah yang berdiri sejak tahun 1928, yang pada umumnya masyarakat keturunan Arab secara tradisi sangat mementingkan silsilah. Ini yang mungkin menjadi pemicu kadang merasa derajat nasab nya lebih tinggi dari orang asli pribumi, yang menimbulkan dan berakibat timbul masalah diatas yang memang hanya dilakukan oleh oknum habib, bukan secara organisatoris.
Dalam masa fase tahun politik selalu digunakan untuk menarik massa dengan basis keagamaan. Sedangkan di Indonesia adalah bukan negara Agama tapi negara yang melindungi seluruh umat beragama . Mengambil hasil penelitian KH. Dr. Imadudin Ustman Al Bantanie dalam buku nya “Menakar Nazab Habib di Indonesia” dan buku kedua “Nasab Habib kepada Nabi Muhammad SAW ” dijabarkan secara komprehensif, dan dengan melakukan penelitian melalui pendekatan metode Library Research dengan mengumpulkan data – data ilmiah berupa kitab kitab nasab dan kitab lainnya dari masa ke masa.
Data tersebut diolah secara sistematis , rasional dan valid, yang dapat disimpulkan, Para habib di Indonesia datang pada sekitar tahun 1880 Masehi dari Yaman sampai tahun 1942 sebelum kedatangan Jepang (Historiografi Etnis arab di indonesia , Mifthahul Tawbah , journal multy cultur of islamic Education vol6 hal 132). Mereka para habib mengaku keturunan Nabi Besar Muhammad SAW, yang menurut mereka berasal dari keturunan Ba Alawi. Dimana Ba Alawi sendiri adalah rumpun keluarga di Yaman dari datuk mereka bernama Alawi bin Ubaidilah.
Baca juga: Penyebaran Islam oleh Keturunan China di Nusantara dan Peran Raja – Raja Jawa dalam Membangun Peradaban Islam
Sayangnya, nasab seperti diatas tersebut tidak terkonfirmasi dalam kitab – kitab nasab primer yang Mu’ tabar. Dalam kitab – kitab nasab yang tertulis berdekatan masanya, tidak mencatat nama Alawi bin Ubaidilah sebagai anak Ahmad bin Isa dan tidak terkonfirmasi sebagai anak Ahmad. Selain itu, tidak terkonfirmasi kitab – kitab nasab sejak abad sejaman nya, dimana sampai akhir abad ke sembilan, tidak tercatat Ahmad bin Isa mempunyai anak bernama Ubaidillah.
Menurut pendapat KH. Dr. Imaduddin Utsman Al Bantanie, penisbatan keluarga Habib Ba Alawi telah terputus selama 550 tahun sejak wafatnya, Ahmad bin Isa yang mana disebutkan dalam nasab Ubaidillah sebagai anak Ahmad bin Isa.
Sangat sukar sekali menurut takaran ilmiah untuk menyebut bahwa para Habib Ba Alawi adalah sahih sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW dan dari sisi riwayat nasab para Habib ini adalah “Mungati”, (terputus) dari sisi nasab. Dimana nasab itu dalam kategori, Mardud al Nasab ( Nasab yang tertolak ) kata penulis buku, menakar kesahihan nasab para habib di Indonesia.
Dengan demikian nasab Ba’ Alawi di Indonesia berbeda dengan para Wali Songo penyebar Islam di tanah Jawa yang datang pada medio Abad ke-14 Masehi. Saat itu menyebarkan agama dengan pendekatan sosiologis atau budaya setempat dimana sistem dan tatacara penyebaran nya pun tetap mempertahankan budaya lokal sebagai pintu masuk yang lebih bisa diterima karena sebelum Islam datang bangsa ini sudah berbudaya sudah mempunyai peradapan tinggi yang mampu membuat monument yang jadi ikon budaya yang diakui UNESCO sebagai keajaiban dunia, dan ini disadari oleh para wali di tanah Jawa termasuk sunan Kudus Sayyid Jakfar Sodiq yang warisannya hingga saat ini bisa kita jumpai di masyarakat Kudus.
Baca juga: L I D A H, Ibarat Mata Uang Koin yang Mempunyai Dua Sisi
Dimana saat itu sayyid Ja,’ Far Sodig Sunan Kudus memfatwakan dilarang menyembelih sapi, untuk menghormati sesama masyarakat bagi saudara kita yang saat itu memeluk agama Hindu yang mengkeramatkan hewan sapi. Bahkan Pure Hindu yang sudah tidak terpakai oleh umat Hindu dikota Kudus digunakan oleh sunan Kudus untuk dijadikan menara (Mannaroh) Masjid sunan Kudus hingga saat ini menjadi Masjid Menara Kudus yang legendaris.
Para wali berasimilasi kawin dengan pribumi demikian juga keturunan keturunannya dan menjunjung harkat martabat orang pribumi,. Seharusnya, kita belajar dari beliau – beliau para pendiri bangsa yang pola pikirnya menjangkau waktu masa hingga ratusan tahun kedepan.
Adanya fenomena yang selalu mengaku sebagai keturunan Nabi , yang mengganggap derajat nya lebih tinggi tersebut, berimbas pada politik praktis saat pilkada secara langsung. Pada masa lalu terjadi fenomena politik identitas yang menjurus pada pemecah belah umat dan masyarakat. Bahkan ada tim salah satu pemenangan Pilpres yang menyatakan kalau tidak milih si anu, maka ke-Islamannya akan dipertanyakan. Ini adalah suatu penyesatan umat, dalam politik .
Dari Irak ada seorang Cendikiawan muslim serta penulis dan pengamat politik dari kota Sammara yang terletak di timur sungai trigis propinsi Sallahudin yakni Dr. Engr. Yaseen Al Kilider, yang menulis artikel yang berjudul “Al Suyuf Al Musliyat ” mengulas nasab palsu seorang Ba’ Alawi di Libanon yang bernama Kamal Al HUT Ba’alawi yang mengaku sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW.
Baca juga: Sejarah Kelam Sistem Khilafah dan Latar Belakang Berdirinya NKRI dari Perspektif Sejarah
Dalam artikel tersebut ditulis bahwa Ba’ Alawi sebagai bagian dari lusaqa (pendompleng nazab),”ad’ iya” (mengaku ngaku) sebagai nazab Rosullulah dimana mereka membawa cerita dan membuat nazab palsu yang membuat Naqobah sendiri dimana keturunan Ba’alawi adalah sebuah nazab yang batil dan palsu.
Jauh jauh hari hal seperti ini sudah diprediksi para pendiri Bangsa yang berpola pikir melampau jamannya ratusan tahun kedepan. Sehingga dalam membentuk pasal – pasal Kontitusi sebagai dasar negara kita, saat itu mengapa mensyaratkan Presiden harus orang Indonesia asli.
Hal ini semata mata untuk tetap terjaganya kemurnian dari orang Indonesia asli yang setidak nya tidak terjebak adanya masalah yang membuat bangsa ini melupakan sejarah dan budaya nya sendiri, dimana setelah dilakukan amandemen hingga empat kali, yang lalu merubah format dari UUD 1945, dari Presiden harus orang Indonesia asli dirubah menjadi calon presiden dan wakil presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain (Pasal 6 UUD 1945 hasil amandemen).
Hal ini berimplikasi, bisa saja calon presiden dan wakil nya dari keturunan Eropa, Yahudi, Afrika, China atau Arab yang penting lahir di Indonesia dan telah menjadi Warga Negara Indonesia. Menapak tilas kembali awal kemerdekaan Indonesia sebagai negara kebangsaan (Nation State), Soekarno sebagai Presiden I Republik Indonesia dengan sadar dan didorong spirit Nasionalisme mencanangkan dan menggelorakan pembangunan karakter bangsa dan watak bangsa (Nation Characters Building).
Baca juga: Berantas Mafia Peradilan dan Mafia Tanah, Perlu Punakawan Petinggi Hukum Indonesia
Dimana Reasoning-nya jelas bahwa untuk mengisi kemerdekaan harus dilandasi watak dan karakter bangsa yang kuat, tangguh dan mandiri dalam arti bukan watak bangsa terjajah tapi watak bangsa merdeka, (Prof. Dr. I Gede Pantja Astawa SH., MH., dalam kata sambutan buku Membangun Karakter Anak Bangsa melalui Ajaran Leluhur).
Dalam kontek ini menjadi sangat relevan dengan mengutip isi pidato Presiden Soekarno yang antara lain menyatakan, “Saudara – saudara sebangsa dan setanah air, kalau jadi Hindu, janganlah jadi orang India, kalau jadi Islam (Moeslim) janganlah jadi orang Arab, kalau jadi Kristen , janganlah jadi orang Yahudi, tetaplah jadi orang Nusantara , dengan adat istiadat yang kaya raya ini dari leluhur kita.
Ingatlah saudara saudara, musuh yang paling berat adalah rakyat kita sendiri yang mabuk budaya luar yang kecanduan agama dan tega membunuh bangsa sendiri demi budaya luar dan agama yang diyakini-nya. Maka, janganlah mau di pecah belah dan dikerdilkan serta diperbudak oleh semua itu, jadi lah bangsa dan orang Indonesia”.
Pidato Proklamator, Presiden pertama RI ini masih relevan untuk di gelorakan hingga saat ini, dimana bangsa ini Harus mengutamakan persatuan dan kesatuan anak bangsa, jangan sampai terbelah demi politik praktis dan selalu waspada atas intervensi asing yang ingin mencampuri dan mencari keuntungan atas pesta demokrasi ini. Harus tetap ditekankan pengabdian yang total terhadap bangsa dan negara serta cinta tanah air.
Jangan sampai kita jadi bangsa inlanders yang dianggap rendah oleh bangsa lain. Jangan lagi ada anggapan dari sesama anak bangsa bahwa keturunan tertentu lebih bagus karena nazab hingga terkesan meng-inlenders kan sesama anak bangsa yang lain. Kita hidup di bumi dan negara Kesatuan RI, harus saling asah asih asuh, berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah. Tunjukan kepada semua bangsa di dunia, bahwa Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang Merdeka dan Bermartabat.
Baca juga: Sejarah Kelam Sistem Khilafah dan Latar Belakang Berdirinya NKRI dari Perspektif Sejarah
Euforia semangat Reformasi telah membuat kita terlena, hingga mabuk kebebasan yang berakibat keblablasan. Tidak sadar, kita telah menghilangkan tatanan aturan dalam hukum dasar kita yang merupakan soko guru tiang utama dari berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia ini. Kiranya sudah Saatnya kita bangun dari tidur dan mimpi di siang hari untuk mengembalikan Ruh nya ke Indonesiaan, yang telah hilang karena ketidak hati hatian serta sifat gegabah dari diri kita sendiri karena terlampau terjebak semangat eufeoria reformasi
Kesimpulan
UUD 1945 di dalam ketentuan Pasal 27 memuat Asas Persamaan di depan Hukum dan Pemerintahan. Sama dengan asas dalam HAM bahwa setiap manusia dilahirkan bebas dan sama derajatnya (every man are born free and equal). Kedua asas tersebut di atas berlaku umum dan bersifat universal. Hal itu tidak lantas berarti bahwa setiap negara tidak boleh menentukan dalam konstitusinya syarat khusus untuk jabatan Presiden (harus orang Indonesia Asli).
Di dalam menentukan alasan – alasan yang melatarbelakangi syarat tersebut, historically, sejarah perjuangan bangsa di dalam merebut kemerdekaan dan juga spirit nasionalisme yang bergelora pada zamannya. Dengan dasar itu, adalah menjadi Hak Negara Indonesia sebagai Negara yang berdaulat menentukan dalam konstitusinya syarat orang Indonesia Asli (in casu Golongan Bumi Putera) untuk jabatan Presiden.
Baca juga: Perhitungan Jaman dan Sejarah Jawa, Nusantara dalam Tulisan Prabu Mapanji Jayabaya
Ini dikarenakan, dalam Sistem Pemerintahan Presidensiil, Presiden adalah kepala pemerintahan (chief of government) atau kepala kekuasaan eksekutif (chief of executive). Selain sebagai kepala pemerintahan/kepala kekuasaan eksekutif, Presiden adalah Kepala Negara (Head of state) dan Panglima Tertinggi dari Angkatan Perang (Commander – in chief).
Selain itu, demikian strategisnya kedudukan Presiden, maka konstitusi memberikan kewenangan atributif demikian besar dan luas meskipun tidak dalam artian absolut untuk mengimbangi beratnya tanggung jawab dan kewajiban yang diemban oleh Presiden.
Sebagai Kepala pemerintahan dan kepala negara serta sebagai Panglima Tertinggi, seorang Presiden tentu harus mengenali, memahami, dan sekaligus mampu menghayati, menyelami, dan menjiwai segenap aspirasi, kondisi sosial-budaya dan perikehidupan rakyat yang dipimpinnya. Hanya orang Indonesia asli yang turun – temurun berada dan hidup di wilayah nusantara yang mampu menyelami dan memahami isi jiwa bangsa/rakyatnya. Atas dasar itu, menjadi sangat beralasan, baik secara de jure maupun de facto, jabatan Presiden harus diisi oleh orang Indonesia Asli.
Ketentuan bahwa presiden haruslah orang Indonesia asli merupakan hasil dari paradigma yang kuat dari para pendiri bangsa. Mereka berupaya menjaga identitas, kedaulatan, dan integritas bangsa Indonesia dengan menghindari pengaruh asing dalam kepemimpinan.
Dengan demikian, syarat ini tidak hanya menjadi aturan hukum, tetapi juga mencerminkan harapan dan cita-cita para pendiri bangsa untuk menciptakan pemerintahan yang benar-benar mewakili dan memperjuangkan kepentingan rakyat Indonesia. Ketentuan ini adalah bagian dari upaya untuk memastikan Indonesia tetap berdiri sebagai bangsa yang merdeka, berdaulat, dan berintegritas****
*Penulis: Praktisi Hukum dan Pemerhati Budaya Sosial Budaya, Hukum Politik dan Sejarah Bangsa-nya