Pembentukan Komisi –  Komisi yang Dilahirkan Masa Reformasi, Apakah Efisien dan Memenuhi Rasa Keadilan Masyarakat ?

by Nano Bethan
119 views
Opini

Oleh.   : Agus Widjajanto

DICTUM.COM – Amandemen UUD 1945 beberapa kali pada masa reformasi melahirkan produk hukum baru, yakni dibentuknya Lembaga yang mempunyai fungsi tertentu, yakni Komisi – Komisi baik itu masuk Yudikatif maupun Eksekutif, dalam kaitan pembagian kekuasaan sesuai Trias Politica. Tujuannya sebagai lembaga pengawas atas kekuasaan Negara agar tidak terjadi kesewenang –  wenangan dalam menjalankan tugasnya sesuai fungsinya masing masing .

Namun kenyataannya, justru yang terjadi adalah tumpang tindih, baik dalam kebijakan dan kewenangan, yang ujung ujung nya tidak jelas peran dan fungsinya. Inin karena tidak mempunyai legitimasi untuk melakukan tindakan, yang justru dinilai memboroskan anggaran Negara yang begitu besar  dan  tidak efisien.

Sejumlah Komisi atau Lembaga Independen yang ada saat ini yakni Komisi Yudisial (KY), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), komisi Nasional anti kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Ada juga Komisi Ombudsman, Komisi penyiaran Indonesia (KPAI) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Kepolisian (Kompolnas), Komisi Kejaksaan (Komjaknas), Komisi Hukum Nasional.

Baca juga: Membangun Peradaban Bangsa Berdasarkan Karakter Warisan Leluhur dalam Perspektif Keindonesiaan

Meski sama sama disebut sebagai Komisi independen, tapi dasar hukum pembentukannya berbeda – beda. Misalkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Komisi Yudisial (KY) didirikan atas perintah Kontitusi tertulis yakni UUD 1945, sedangkan Komnas HAM, KPK dan Kompolnas serta Komjaknas, didirikan berdasarkan Undang – Undang , yang hirarki tata urutan perundangan  nya dibawah Undang – Undang Dasar.

Akibat dari dasar hukum pembentukan dan konsepsi  dari komisi – komisi tersebut yang berbeda – beda, menimbulkan masalah yang secara hukum Tata Negara tidak jelas konteknya, yang berakibat meletakan kedudukan dan hubungan antar Komisi Negara tersebut menjadi sulit karena perbedaan hirarki perundang –  undangan.

Untuk itu harus dilakukan penataan kembali secara jelas dalam konteks hukum Tata Negara  dan juga harus dilihat kembali apakah komisi – komisi itu efektif atau tidak bagi reformasi dan pembaharuan serta  penindakan dalam pengawasan hukum nasional.

Dalam konteks sudah begitu memprihatinkan kondisi penegakan hukum di negeri ini, yang telah berorientasi menjadi lahan bisnis. Apakah komisi komisi tersebut bisa memberikan andil dalam memberantas adanya fenomena penegakan hukum dinegeri ini menjadi lebih baik dan berkeadilan? Dimana hukum dijadikan panglima, tajam dibawah juga tajam diatas?

Baca juga: Mencintai Bangsa dan Negara Merupakan Tanda Keimanan, Hubbul Waton Minal Iman

Yang tidak kalah penting juga perlu adanya aturan yang mengatur definisi dan kedudukan lembaga negara, agar tidak tumpang tindih , karena ada komisi yang mengaku berkedudukan sebagai lembaga eksekutif dan ada yang mengaku sebagai lembaga yudikatif. Ini jelas tumpang tindih dan tidak efisien, belum lagi jikalau dilihat kewenangan dan kiprah nya selama ini, apakah sudah memenuhi harapan masyarakat?

Banyak laporan masyarakat tidak jelas penyelesaiannya, karena memang tidak diberikan kewenangan menindak, hanya rekomendasi kepada lembaga yang berwenang dan mengadili secara etik, ini yang terkesan sebuah lembaga yang hanya bersifat declarator , bukan Comdenator (menghukum).

Seperti misalnya Komisi Yudisial (KY) yang dibentuk berdasarkan UUD 1945  (setelah amandemen) dan Undang – Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang – Undang nomor 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial .sesuai pasal 13 Undang – Undang Nomor 18 tahun 2011 Komisi Yudisial mempunyai wewenang:

  1. Mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan Hakim ad hoc di Mahkamah Agung ( MA ) kepada DPR untuk mendapat persetujuan .
  2. Menjaga Kehormatan, Keluhuran Martabat , serta Perilaku Hakim.
  3. Menetapkan Kode Etik dan / atau Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) bersama – sama dengan Mahkamah Agung.
  4. Menjaga dan menegakkan pelaksanaan Kode Etik dan / atau pedoman perilaku hakim (KEPPH).

Baca juga: Penyebaran Islam oleh Keturunan China di Nusantara  dan Peran Raja – Raja Jawa dalam Membangun Peradaban Islam

Secara konseptual tugas dan wewenang tersebut sangat elegan tapi bagaimana kewenangan penindakan jikalau menemukan perilaku hakim atau terdapat kasus hakim yang memutus perkara yang dirasa sangat janggal dan yang saat ini dimasyarakat disebut terjadi peradilan sesat? Apakah Komisi Yudisial mempunyai kekuatan menindak? Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran dan martabat serta perilaku hakim. Komisi Yudisial hanya merekomendasikan dan tetap meminta bantuan aparat hukum dalam hal ini dikembalikan lagi kepada Badan Pengawasan  pada Mahkamah Agung RI.

Belum lagi kewenangan mengusulkan kepada Presiden atas pengangkatan Hakim Agung dan Hakim Ad Hoc, yang harus mendapat persetujuan DPR, ini adalah mata rantai yang rentan akan kepentingan transaksional yang pada ujungnya akan melahirkan Hakim Agung dan Hakim Ad Hoc yang juga mempunyai jiwa transaksional dalam penegakan hukum.

Dimana ibarat pisau Komisi Yudisial adalah pisau tumpul yang tidak punya kemampuan  untuk memotong Obyek dan Subyek yang dilaporkan masyarakat. Demikian juga lembaga – lembaga yang lain yang tentu banyak sekali laporan masyarakat yang merasa diperlakukan tidak adil. Atas kondisi saat ini, yang lapora nya tidak mendapat penyelesaian konkrit akan tetapi hanya penyelesaian normatif yang menimbulkan kekecewaan dimasyarakat luas.

Baca juga: Four’as Politica Dalam Pembagian Kekuasaan di Era Negara Demokrasi Modern Saat Ini

Sebuah Birokrasi yang gemuk disamping tidak efisien untuk pelayanan umum (publik service) juga dinilai cenderung dikuatirkan terjadinya korupsi, tertutup, yang tidak lagi mampu menampung aspirasi masyarakat yang terus berkembang, sesuai dinamika tuntutan Demokrasi, hak hak warga negara dari waktu ke waktu.

Perkembangan tuntutan akan kebutuhan masyarakat untuk dilayani sebagai sebuah negara Demokrasi berpengaruh terhadap struktur organisasi negara, termasuk bentuk – bentuk dan fungsi – fungsi Lembaga negara, yang kemudian lahir diberbagai lembaga negara sebagai bentuk  eksperimentasi kelembagaan (Institusional experiment) berupa Dewan (Council), Komisi (Commission), Komite (commite) Badan (board) atau Otorita (Authority).

Lembaga lembaga tersebut bersifat penunjang (Auxiliary institution) dimana diantara lembaga – lembaga tersebut ada yang menjalankan fungsi campuran diantara fungsi – fungsi regulatif, administratif  dan fungsi penghukuman yang harusnya dipisah. Akan tetapi, justru dilakukan secara bersamaan oleh Lembaga – lembaga baru tersebut. Ini yang bikin tumpang tindih antara lembaga dengan institusi kekuasaan dalam Eksekutif, Yudikatif dan legislatif.

Harus diakui, Exsperimentasi kelembagaan yang terjadi di berbagai negara, tidak dapat dipungkiri berdampak pula di Indonesia sebagai sesuatu yang tidak dapat dinafikan. Hanya saja masalahnya, ketika akan membentuk berbagai kelembagaan berupa Badan, Lembaga, Komisi -komisi, Otoritas dan lain sebagainya yang bersifat independent.

Baca juga: Sejarah Kelam Sistem Khilafah dan Latar Belakang Berdirinya NKRI dari Perspektif Sejarah

Tentu harus dikaji,  sebelumnya melalui kajian akademis yang  urgensi dan kontribusinya kelak dalam penyelenggaraan pemerintahan benar – benar optimal dan berdaya guna. Sehingga tidak sampai terjadi seperti sekarang  ini,  begitu banyak institusi yang dibentuk, namun tidak jelas keberadaan, urgensi, serta  kontribusinya yang  pada  akhirnya  terkesan hanya menghabiskan uang negara.

Apalagi sebuah Lembaga  atau Komisi yang dibentuk hanya berdasar Undang – Undang, yang telah dilahirkan di masa Reformasi, yang secara hirarki Perundang – undangan, dari dasar pembentukannya dibawah UUD. Tentu untuk melakukan pengawasan dan tindakan terhadap lembaga sesuai pembagian kekuasaan dalam Trias Politica sangat lemah, karena tidak dibekali kekuasaan untuk menindak, hanya bersifat Declarator bukan Comdenator.

Ini yang harus kita pikirkan bersama bagaimana mengatur lebih lanjut, apakah lembaga – lembaga tersebut yang dibentuk untuk memenuhi trend Sebuah Negara Demokrasi Modern, perlu dibekali dengan kekuatan Comdenator  ataukah ditinjau ulang keberadaan nya. Pertimbangannya,  terjadi tumpang tindih dan tidak efisien yang berakibat menghabiskan Anggaran Negara.

Ataukah dikembalikan kembali seperti saat Orde Baru dimana kewenangan pengangkatan Hakim Agung dan Hakim Ad Hoc, menjadi kewenangan Menteri Hukum dan HAM yang diambilkan dari Hakim Karier yang memang dirasa pantas sesuai pantauan dan catatan dalam putusan – putusannya yang dinilai   sangat inspiratif brilian dan menjunjung  penuh rasa keadilan. Setelah itu  diusulkan kepada Presiden  dan Mahkamah Agung sebagai lembaga yang mengajukan daftar nama –  nama hakim yang dipandang kredibel dan kapable.

Baca juga: Berantas Mafia Peradilan dan Mafia Tanah, Perlu Punakawan Petinggi Hukum Indonesia

Apabila hal itu jadi pilihan maka harus ada kemauan untuk mengamandemen UUD 1945 secara terbatas demi perbaikan kondisi penegakan hukum di Negeri ini dan  merevisi Perundang – Undangan terkait. Agar tidak lagi terjadi kecemburuan dari kalangan hakim karier yang memang dimulai dari tingkat paling bawah yang tentu telah mengalami proses alamiah dan teruji pengalamannya. Tanpa bermaksud menghakimi dari kalangan diluar Institusi Peradilan dibawah Mahkamah Agung, tapi itulah fenomena saat ini yang terjadi .

Dengan demikian apabila bersama sepakat kembali kepada konsep lama saat Pemerintahan Orde Baru, maka  langkah konkrit nya tentu dengan mengoptimalkan Pengawasan di tingkat Inspektorat Pengawasan di masing – masing Lembaga penegak hukum dan lembaga lembaga pemerintahan yang ada. Harus disadari bahwa pembentukan Komisi Yudisial didasarkan pada  keprihatinan kondisi peradilan di Indonesia yang tidak sesuai harapan, tak kunjung tegak****  

Penulis, Praktisi Hukum, Pemerhati Sosial, Budaya, Politik dan Sejarah Bangsanya, tinggal di Jakarta

Berita Terkait