Oleh : Agus Widjajanto*
TABLOIDDICTUM.COM – Mundurnya Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto pada Sabtu malam, 10 Agustus 2024 mengejut kan banyak pihak. Lebih mengejutkan lagi, tidak ada satupun pimpinan teras Partai Golkar dan sesepuh selaku dewan pembina partai berlambang pohon beringin juga diam seribu Bahasa. Hal ini justru menambah keinginan publik untuk tahu apa yang sebenarnya terjadi. Sementara menurut para analis dan pengamat politik, pengunduran Airlangga karena adanya tekanan politis yang begitu besar.
Hal ini terjadi karena diterapkan sistem multi partai, yang mana untuk memperkuat politik harus menguasai partai – partai besar yang bisa mendukung dan jadi kendaraan dalam mencapai kekuasaan. Berbarengan dengan akan dilakukan Pemilu Kepala Daerah (Pilkada) di 32 Propinsi dan 500-an Kabupaten/Kota diseluruh Indonesia secara serentak.
Beberapa bulan yang lalu diberitakan, Ketua MPR, Dr. Bambang Soesetyo, telah bertemu Prof. Dr. Amin Rais di gedung MPR Senayan Jakarta yang dihadiri beberapa pimpinan anggota MPR, diantaranya Fadel Muhammad. Menariknya, dalam pertemuan tersebut Amin Rais selaku motor penggerak dari pada Reformasi yang menumbangkan kekuasaan Orde Baru, menyatakan bahwa beliau mengakui naif dan sembrono terlampau bersemangat atas euforia Reformasi hingga saat 1998 mengambil keputusan menggulirkan Reformasi dengan melakukan Amandemen sampai empat kali. Saat itu,
Baca juga: Tommy Soeharto Layak Ambil Alih Kursi Ketua Umum Partai Golkar
Amin Rais sebagai ketua MPR, yang secara terbuka meminta maaf kepada seluruh rakyat Indonesia, akan tetapi ekses dari keputusan pada tahun 1998 silam telah meresidu segala lini kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada akhirnya membawa bangsa ini dalam situasi keblablasan, dalam segala bidang kehidupan yang dipicu dirubahnya format Hukum Dasar yakni UUD 1945 termasuk Presiden bukan lagi harus orang Indonesia asli dan bukan lagi Mandataris MPR, akan tetapi dipilih langsung oleh Rakyat.
Sejarah mencatat bahwa Undang – Undang Dasar 1945 sudah mengalami perubahan melalui proses amandemen sebanyak empat kali. Menurut para elit politik saat itu bertujuan untuk menyempurnakan aturan Aturan Dasar Negara seperti tatanan negara, kedaulatan rakyat, hak asasi manusia, pembagian kekuasaan, eksistensi Negara demokrasi dan Negara hukum, yang harus sesuai sebagai Negara Demokrasi modern ala Eropa dan Amerika Serikat .
Para elit politik lupa bahwa sejak Indonesia berdiri dan didirikan oleh para bapak pendiri bangsa (Founding Father), walaupun ide terbentuknya sistem Presidential adalah meniru dari sistem Presidential Amerika Serikat saat itu, akan tetapi sistem ketatanegaraan tetap berdasar pada nilai nilai luhur sesuai adat dan tata kehidupan Bangsa Indonesia, yang oleh Mr Soepomo dibentuk seperti sebuah pemerintahan desa adat dalam lingkup Nasional atau Negara. Dimana dalam mengambil keputusan, berdasarkan musyawarah mufakat. Saat itu dibentuklah Panitia Sembilan dalam PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang diketuai oleh Ir. Soekarno.
Baca juga: Indonesia Negara Demokrasi, Seharusnya Menganut Sistem Presidential atau Parlementer?
Syarat untuk terbentuknya sebuah Negara setelah diproklamirkan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, merupakan proklamasi merdekanya sebuah bangsa dari wilayah yang jelas bekas jajahan Hindia Belanda adalah ada penduduk, yang saat itu berjumlah hampir 35 juta rakyat, ada Dasar Negara dan Hukum Dasar (kontitusi tertulis) untuk mengatur tata kehidupan dalam bernegara. Dimana, antar Dasar Negara dengan Hukum Dasar baik Preambule maupun isi harus sejalan dengan Dasar negara yang merupakan Dwi tunggal (dua tapi sejatinya satu yang tidak bisa dipisahkan).
Ini bisa dilihat dari Sila ke-empat dari Pancasila (sebagai Hukum Dasar),yang berbunyi “Kerakyatan yang dipimpin Oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan perwakian”. Sila ini konekting atau berhubungan dengan pasal 1 ayat (2) dari Undang – Undang Dasar 1945 yang berbunyi “Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan sepenuhnya dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Oleh karena sangat dipengaruhi semangat meniru atau terbius untuk melakukan Reformasi dan mengakhiri kekuasaan Orde Baru saat itu yang dianggap KKN. Dengan memanfaatkan situasi terjadinya Resesi Ekonomi atas permainan Negara adi daya dan Eropa untuk menguasai dan mengendalikan ekonomi negara dunia ketiga.
Tetapi para elit politik lupa bahwa, antara Pancasila dan UUD 1945 tidak bisa dipisahkan dan merupakan satu kesatuan (Dwi Tunggal) maka dengan melakukan amandemen UUD 1945 hingga empat kali tetapi tidak merubah bunyi dari Dasar Negara Pancasila. Alhasil, seperti yang kita lihat dan rasakan saat ini, terjadi kepincangan dalam sistem Ketatanegaraan sejak Reformasi bergulir hingga saat ini.
Baca juga: Pembentukan Komisi – Komisi yang Dilahirkan Masa Reformasi, Apakah Efisien dan Memenuhi Rasa Keadilan Masyarakat ?
Untuk itu, saat ini yang paling utama dan paling krusial yang harus diambil keputusan segera dalam membangun kembali ketatanegaraan negara kita adalah segera melakukan Amandemen terbatas yang kelima untuk mengembalikan marwah dan ruh ke-Indonesiaan, baik terhadap UUD 1945 maupun Pancasila sebagai sumber dari segala sumber Hukum. Ada beberapa pasal krusial yang sepatutnya untuk dikembalikan pada kedudukan semula sesuai format dari Undang – Undang Dasar 1945 yang lama adalah sebagai berikut:
- Kembalikan lagi rumusan Pasal 1 ayat (2) lama “Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”.
- Kembalikan rumusan pasal (yang lama) tentang MPR dengan kewengannya.
- Bubarkan DPD (karena dalam pasal lama tentang MPR, sudah disebut “Utusan Daerah”. Dengan demikian, UUD 1945 menganut Sistem Perwakilan Unicameral ( satu badan perwakilan yang disebut dengan MPR).
- Bangun sistem Dwi Partai (Be Party System) yang digolongkan dalam partai Nasionalis dan Partai Agama dimana semua partai partai politik melakukan fusi melebur sesuai dengan latar belakang dari AD/ART partai partai tersebut.
- Bangun Sistem Pemilu dengan Sistem Distrik.
- Kembalikan aturan presiden harus orang Indonesia Asli. Kita harus belajar dari latar belakang emosional dari para pendiri bangsa, bahwa saat pemerintahan Hindia Belanda masyarakat dibagi dalam kasta – kasta dan justru Orang Asli Indonesia disebut Bumi Putera.
- Pertegas kembali Sistem Pemerintahan Presidensil dengan mengembalikan lagi kewenangan Presiden yang di koptasi oleh DPR, seperti original power pembentukan Undang – Undang kekuasaan ada pada Presiden dan DPR hanya menyetujui atau menolak. Hak prerogatif Presiden dalam pengangkatan Pejabat setingkat menteri seperti, Kapolri, Jaksa Agung dan pimpinan lembaga non kementerian. Rekrutmen Hakim Agung, Komisi Yudisial, Anggota BPK dan lainnya tidak lagi melibatkan DPR melalui mekanisme ‘fit n proper test’.
Baca juga: Paradigma Para Pendiri Bangsa Membuat Aturan Pasal Dalam UUD Negara, Presiden Harus Orang Indonesia Asli
Hal itu sangat urgen untuk dilakukan dan sangat penting, serta mendesak dilakukan oleh pemerintahan yang baru dengan tujuan:
- mewujudkan stabilitas pemerintahan.
- menjamin kelangsungan Demokrasi Pancasila.
- menjaga keutuhan Bangsa dan NKRI.
- mengurangi beban negara buat cost partai politik yang justru menimbulkan kegaduhan
- mencegah praktek – praktek korupsi dengan transaksional para partai politik dengan pejabat publik.
Sebagaimana dikatakan Guru Besar Hukum Tata Negara paling Senior dari Universitas Padjadjaran Bandung, Prof. Dr. I Gde Pantja Astawa, bahwa Presiden Soekarno mempunyai obsesi untuk mengelompokkan dua kelompok masyarakat secara sosiologis, yaitu Nasionalis dan Agama (khusunya Islam). Hanya memang saat itu Partai Komunis Indonesia (PKI) sudah eksis dan punya basis massa yang kuat dan besar, Petani dan Kaum buruh.
Baca juga: Mencintai Bangsa dan Negara Merupakan Tanda Keimanan, Hubbul Waton Minal Iman
Tiga kekuatan besar itu disatukan menjadi yang dikenal dengan NASAKOM untuk menunjukkan kepada dunia internasional bahwa Presiden Soekarno ditopang oleh tiga kekuatan besar itu. Hanya sayangnya, Presiden Soekarno tidak mudah memainkan irama politik agar ada harmonisasi di antara tiga kekuatan besar itu, jadilah sejarah berkata dan berkehendak lain.
Menurut Prof. Pantja Astawa, saat ini, komunis sudah dead (tamat bahkan diseluruh dunia), tinggal dua kekuatan besar yang masih eksis, mengapa dan kenapa mereka tidak mengorganisasikan dirinya menjadi dua Partai besar sesuai dengan idiologinya dengan menegaskan asasnya Pancasila.
Atas permintaan dan masukan berbagai pihak agar mengembalikan UUD 1945 secara murni dan konsekuen secara total, sangat sulit dilakukan setelah bergulir sekian puluh tahun. Apalagi sudah banyak sekali lembaga baru seperti Mahkamah Kontitusi, maka yang paling rasional yang paling terbaik dilakukan adalah dengan Amandemen Terbatas.
Melalui amandemen kelima ini terhadap Undang – Undang Dasar 1945, diharapkan bisa saling berhubungan dan singkron dengan sila – sila dari Pancasila khususnya Sila keempat Pancasila menyangkut sistem aturan kerakyatan dalam perwakilan****
*Penulis adalah Pemerhati Sosial, Budaya, Politik, Hukum dan Sejarah Bangsa-nya. Tinggal di Jakarta .