Aku adalah Kita, Rekonsiliasi Permasalahan Politik Masa lalu, Dalam Pelanggaran HAM Untuk Menatap Masa Depan Bangsa

by Nano Bethan
68 views
Opini

Oleh : Agus Widjajanto

DICTUM.COM – SEORANG Antropolog  menunjukkan permainan kepada anak-anak  suku di Afrika.  Dia meletakkan satu keranjang penuh buah di dekat pohon. Dan dia memberi petunjuk kepada anak-anak, bahwa anak yang lari pertama kali mencapai pohon, dia berhak mendapatkan sekeranjang buah.

Tapi begitu sang Antropolog memberi aba-aba,  MULAI !!!, Dia terkejut, karena anak-anak berjalan bergandengan tangan tanpa berebut saling mendahului.  Ketika Antropolog bertanya, Kenapa kalian melakukan itu? Padahal kalian punya kesempatan untuk mendapatkan sekeranjang buah seorang diri. Mereka menjawab, ‘UBUNTU’. Bagaimana salah satu dari kita bisa bahagia, sedangkan teman yang lain bersedih.     Ubuntu dalam peradaban mereka artinya, ‘Aku adalah Kita’.

Suku itu memahami rahasia kebahagiaan sesungguhnya yang justru hilang atau ‘dihilangkan’ dalam kehidupan masyarakat modern yang sangat individualistis dan egosentris.  Padahal mereka mengganggap dirinya sebagai masyarakat yang paling beradab !!!.

Itulah budaya Afrika Selatan yang dikumandangkan Oleh Uskup Agung Desmon Tutu, yang sangat legendaris menginspirasi pagiat Hak Asasi Manusia diseluruh dunia, yang telah melakukan Rekonsiliasi atas Kejahatan dalam Politik Aphartheid di Afrika Selatan.

Baca juga: Peranan MK dan Konflik Pemilukada serta Kepentingan Partai Politik

Dalam konteks kondisi di Indonesia, khususnya Sistem  Peradilan di Indonesia, yang katanya merupakan negara Demokrasi ketiga terbesar di Dunia, yang sangat memprihatinkan, hukum dijadikan alat politik  transaksional, Putusan Hakim bukan lagi jadi Mahkota hukum tapi sebagai sarana untuk mendulang kepentingan. Hukum sudah menjadi ladang bisnis, siapa kuat maka akan jadi pemenang seperti dalam Hukum Rimba.

Konsep dasar dibentuknya hukum adalah untuk mengatur tatanan dalam masyarakat agar masyarakat terlindungi baik hak maupun keselamatan dan kewajibannya dalam sebuah Negara, untuk mencapai kesejahteraan bersama, sekaligus membatasi kekuasaan Absolut dari penyelenggara Negara.

Dalam dunia modern saat ini dimana dunia  teknologi, ditemukan hukum gratifikasi yang menjadi dasar dari penemuan teknologi ruang angkasa dan pesawat terbang, demikian juga ditemukan hukum Archimedes dan Pitagoras, semuanya untuk kepentingan masyarakat agar bisa berguna sebagai alat mencapai kesejahteraan bersama.

Demikian juga sistem Hukum dalam suatu Peradilan sebuah Bangsa, diciptakan untuk kepentingan bersama sebagai alat perlindungan masyarakat, dalam penegakan hukum, yang tujuan akhirnya juga kesejahteraan bersama.

Baca juga: Saatnya Mengembalikan Marwah MPR, Mewakili Suara Rakyat Suara Tuhan

Dalam kontek Peradilan di Negeri saat ini yang sangat memprihatinkan, pada tahun 1980-an, Prof. Satjipto Rahardjo mengetengahkan ide terobosan hukum yang tidak hanya terpaku pada dogma aturan baku soal pasal-pasal, baik dalam KUHP maupun KUHPerdata, beserta hukum acaranya, tapi memberikan kewenangan mutlak kepada Hakim untuk bisa menciptakan hukum.

Menggali hukum baik tertulis maupun yang hidup dalam masyarakat, agar bisa memutus perkara seadil-adilnya, dalam kapasitas Jabatan yang Obyektif, sebagai wakil Tuhan dan Negara. Dikenal dengan konsep aliran  hukum Progresif, bahwa hukum dibentuk dan diciptakan untuk Manusia, bukan Manusia untuk Hukum,  untuk menciptakan hukum sebagai panglima dan memperlakukan derajat yang sama dihadapan hukum (Equality Before The Law).

Peraturan hukum hanya sarana  perangkat kitab, hidup dan matinya hukum tergantung  dari pada Hakim dan penegak hukum yang lain baik Polisi ditingkat penyelidikan dan penyidikan ,serta Jaksa pada proses penuntutan, bahkan juga kepada pengacara yang secara aturan Sistem Peradilan sebagai salah satu penegak hukum, yang membela terdakwa atau tersangka. Disitulah sebenarnya Ruh-nya hukum tersebut bisa hidup dan tegak, atau mati seperti halnya pohon yang tidak berdaun dan berbuah.

Kondisi saat ini hukum telah kehilangan Ruh-nya, semua ditransaksikan sebagai alat bisnis.  Dalam fenomena tersebut maka, sebenarnya dunia pendidikan kita dalam dunia  Akademis telah gagal untuk melakukan pencerahan dalam sistem pendidikan saat proses dikawah Candradimuka sebelum diangkat sebagai pejabat penegak hukum, baik Hakim, Jaksa, Polisi maupun Pengacara.

Baca juga: Perlu Segera Dilakukan Amandemen Terbatas Untuk Memperbaiki dan Mengembalikan Marwah UUD 1945

erangkat aturan hanya kumpulan dogma, yang tidak lagi punya Ruh keadilan karena jiwa kita, rohani kita miskin bahkan sudah mati untuk memanifestasikan alat hukum tersebut untuk sebuah keadilan. Telah gagal dalam mencetak manusia-manusia berpendidikan yang mempunyai hati nurani dan kepekaan dalam menjunjung keadilan, yang ada hanya terpaku pada hukum positif dalam aliran positivisme .

Dalam dunia politik, telah kita saksikan bersama dari sejak berdirinya negara ini, yang diproklamasikan oleh Soekarno-Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945, sebagai momentum kemerdekaan sebuah Bangsa, selalu terjadi konflik politik dengan kekerasan yang mengarah kepada pelanggaran Hak Asasi Manusia, dari pemberontakan pemberontakan karena merasa tidak diperhatikan secara adil dari pemerintah pusat.

Saat itu melahirkan pemberontakan DITII di Jawa Barat, Permesta di sumatera dan Sulawesi, Pemberontakan PKI 1948, pemberontakan Gerakan 1 Oktober 1965 yang dikenal dengan Gestapo PKI, saat pemerintahan Orde Lama, hingga dilanjut pemerintahan Orde Baru dalam peristiwa Talang Sari di Lampung, peristiwa tanjung Priuk, hingga peristiwa Semanggi dalam tahun 1998. Saat menjelang jatuhnya Orde Baru, yang dituduh adanya berbagai penculikan aktivis.

Sampai  menimbulkan dendam berkepanjangan antara keturunan Bung Karno dengan keturunan Pak Harto. Yang sangat dirasakan, ketokohan sekaliber Pak Harto, yang berkuasa 32 tahun, telah berbuat banyak dan sangat berjasa kepada Bangsa dan Negara, untuk status Gelar  Pahlawan Nasional saja, hingga kini belum ada kejelasan.

Baca juga: Membangun Peradaban Bangsa Berdasarkan Karakter Warisan Leluhur dalam Perspektif Keindonesiaan

Pada medio tahun 2010 telah dibentuk Sebuah usaha rekonsiliasi yang dibidani oleh beberapa tokoh Pendiri Pemuda Panca Marga. ,Saat itu dibentuk sebuah forum gerakan  yang namanya Forum Silaturohmi  Anak Bangsa (FSAB) yang saat itu diketuai oleh Letjend (Pur). Agus Widjojo, Mantan Gubernur Lemhanas, untuk menemukan para keturunan anak dan cucu dari peristiwa tragis sejarah bangsa ini.

Baik anak dari Kartosuwiryo, Anak Aidit , Anak dari Jendral Ahmad Yani, dan seluruh pahlawan revolusi 1965, Anak tokoh Permesta, untuk bertemu dan melakukan rekonsiliasi agar bisa menata kedepan dari generasi muda saat ini menuju Indonesia yang lebih baik. Melupakan dendam, yang dalam bahasa jawa disebut “Seng Wes Yo Wes”. Namun kenyataannya, hanya bisa sebatas dipertemukan dalam sebuah acara silaturohmi saja, tidak bisa dilakukan rekonsiliasi dimana masing-masing pihak tetap dengan ego dan sudut pandang masing-masing  bahwa posisi orang orang tua mereka tidak salah.

Menghadapi momentum pergantian kepemimpinan nasional pada bulan Oktober bulan depan, dimana Presiden Joko Widodo digantikan Oleh Presiden Terpilih Jendral (Pur). Prabowo Subiyanto, marilah kita merajut kebersamaan seperti hal nya budaya Ubuntu di Afrika Selatan. Kita saling memaafkan pada diri sendiri maupun kepada keturunan pihak lain, untuk sebuah Rekonsiliasi Nasional.

Bagi Presiden yang telah purna tidak lagi menjabat, diberikan harkat dan martabatnya sebagai seorang pemimpin Negara ini. Apapun kesalahan pada saat menjabat agar ada kebijaksanaan diputihkan dari segala tuntutan hukum dan hujatan serta dendam secara politis, untuk menyongsong mentari dari ufuk timur, seperti dalam lagu ditimur matahari. Hanya dengan keberanian, kebijaksanaan dan menjunjung tinggi harkat martabat (Mendem Jero, mikul duwur) maka bangsa ini bisa melakukan tinggal landas menuju Indonesia Emas.

Baca juga: Pembentukan Komisi-Komisi yang Dilahirkan Masa Reformasi, Apakah Efisien dan Memenuhi Rasa Keadilan Masyarakat ?

Semoga Indonesia juga meniru dan terilhami perjuangan dari Uskup Agung (Emeritus) Desmond Mpilo Tutu, dimana hanya dengan pendekatan Rekonsiliasi dan non kekerasan yang bisa menyelesaikan berbagai persoalan kemanusiaan. Termasuk memutus tali dendam yang berkepanjangan dari sesama anak bangsa atas Politik Para Pemimpin masa lalu. Statemen Desmond Tutu yang termasyur dimana beliau menyatakan, “No Future without forgiveness”,  Tidak ada masa depan tanpa saling memaafkan (di antara sesama anak bangsa).

UBUNTU, Aku adalah Kita, jangan lagi kalian pecah belah kami dengan slogan dan cara-cara politik kotor  dan  dengan materi transaksional kepada kami karena Aku adalah Kita, kebersamaan dalam komunitas masyarakat berbangsa dan bernegara sebagai sesama anak bangsa.

Hanya dengan cara Rekonsiliasi yang dimulai dari  memaafkan pada diri sendiri, lalu memaafkan kepada pihak yang dianggap rival dalam politik, maka bangsa ini bisa jadi bangsa yang matang dan besar. Jangan ada lagi dendam dan intrik politik dengan menggunakan kekuasaan secara hukum. Mari kita rajut kembali Keindonesiaan ini, menuju Damai Sejahtera, saling asah asih asuh, menuju Indonesia Emas tahun 2050.

Tidak mudah memimpin sebuah negara yang pluralisme dengan adat istiadat berbagai suku yang berbeda, dengan budaya daerah dan bahasa yang berbeda. Dengan segala kekurangan dan kelebihan sebagai seorang pemimpin dari kodratnya sebagai hamba Tuhan tentu wajar jikalau ada kekurangan. Tapi mari kita memandang darma baktinya yang baik kepada bangsa ini***

Penulis :  Praktisi hukum dan pengamat serta  pemerhati sosial  budaya bangsa-nya

Berita Terkait