Penetapan Tersangka Dugaan Korupsi Indofarma Tbk, Atmosfir Hukum Indonesia Sudah Demikian Kelam, Diselimuti Dark Justice

by Nano Bethan
174 views
Prof. Pantja Astawa

JAKARTA, DICTUM.COM  – Ternyata, salah satu dari tiga tersangka korupsi Indofarma Tbk (INAF), Cecep SY, adalah orang yang turut melakukan upaya perbaikan manajemen dan melaporkan ketidakberesan dari manajemen PT Indofarma Global Medika (PT IMG), anak perusahaan Indofarma Tbk, ke Kementerian BUMN.

Menurut kuasa hukumnya dari kantor Hukum Agus Widjajanto And Partners, tersangka Cecep SY yang menjabat sebagai Head of Finance PT IGM, pada tahun 2021 diminta keterangan oleh petinggi kementerian BUMN. “Tersangka Cecep SY ketika itu menerangkan secara terbuka temuannya sebagai seorang Head Of Finance,” ungkap Hendrikus Hali Atagoran didampingi Agung Aprizal.

Lebih lanjut dikatakan, negara seharusnya berterima kasih kepada Cecep SY yang telah melakukan Kajian Management internal dan melaporkan ke Kementerian BUMN. Laporan dari Cecep SY ini kemudian BPK melakukan audit sehingga kebobrokan manajemen Indofarma Tbk terungkap.

Kajian atas ketidak beresan perusahaan dibuat Cecep SY  pada bulan Oktober – Nopember 2022,  yang diberikan kepada Petinggi kementerian BUMN , yang tujuannya untuk perbaikan kinerja perusahaan. Dari kajian dan laporan tersebut Cecep SY mendapat ancaman berkali-kali dari internal perusahaan dan dipaksa menandatangani pernyataan hutang perusahaan atas namanya.

Baca juga: Dugaan Korupsi Indofarma Tbk, Tim Kuasa Hukum Tersangka Cecep SY Melakukan Langkah dan Upaya Hukum Praperadilan

Seperti diketahui, penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta, Kamis, 19 September 2024 lalu telah menetapkan  AP, Dirut INAF tahun 2019- 2023, GSR, Direktur PT IGM tahun 2020-2023 dan Cecep SY yang diduga melakukan korupsi sehingga merugikan keuangan negara Rp 371 Miliar.

Terkait sering kali terjadi seseorang yang memiliki itikad baik melaporkan penyimpangan atau dugaan tindak pidana yang kemudian terseret dan  ditetapkan sebagai tersangka sebagaimana yang dialami Cecep SY dalam kasus dugaan korupsi Indofarma, TBK,  Prof. Dr. I Gde Pantja Astawa ketika diminta pendapatnya  mengatakan,   fenomena seperti itu karena adanya relasi antara hukum dan kekuasaan.

“Konstatasi yang demikian itu mengingatkan saya pada relasi antara hukum dan kekuasaan yang sering digambarkan sebagai dua sisi dalam satu mata uang, both side of one coint,” kata Guru Besar Hukum  Senior dari Universitas Padjajaran Bandung ketika dihubungi, Senin, 23 September 2024.

Menurutnya, dua hal mendasar itu dapat dibedakan, tapi tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya. Hukum membutuhkan kekuasaan agar hukum bermakna, bukan sekadar kumpulan norma tanpa makna,  untuk dipatuhi atau ditaati.

Baca juga: Korupsi PT Indofarma Tbk, Bongkar Kebobrokan Manajemen, Tersangka CSY, Diduga sebagai Tumbal Mantan Petinggi Perusahaan

Sebaliknya, kekuasaan membutuhkan hukum agar tidak menimbulkan kesewenang-wenangan, arbitrary – abuse of power. “Dua hal mendasar pada tataran das sollen itu sangat ideal dalam praktek penyelenggaraan negara, termasuk dalam law making policy dan law enforcement policy,” ungkap Guru Besar asal Bali ini.

Namun, menurut Prof. Pantja Astawa, pada tataran das sein, hukum selalu sub-ordinat pada kekuasaan, atau Kekuasaan yang berujud seperti jabatan, tahta, pengaruh, kepintaran, ilmu pengetahuan, harta, wanita dan senjata,  selalu determinan terhadap hukum.

Bahkan ekstrimnya, kekuasaan juga memarjinalkan etika dan moral. Ketika pemegang kekuasaan tidak memiliki integritas diri, buta akan hati nuraninya dan tidak punya hati, maka apapun bisa dilakukan, menghitam-putihkan hukum, membolak-balikan hukum, dalam arti orang yang benar menjadi salah dan orang yang salah menjadi benar.

Orang yang seharusnya diberikan reward karena berhasil mengungkap suatu kejahatan justru dibuat menjadi pesakitan, orang yang seharusnya dibebaskan, justru dijatuhi hukuman yang berat. Praktek-praktek yang demikian itu semakin marak dipertontonkan oleh mereka pemegang kekuasaan di segala cabang kekuasaan, Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif yakni Aparat Penegak Hukum, Polisi, Jaksa dan Hakim serta beberapa oknum lawyer atau pengacara.

Perlawanan atas praktek yang demikian itu berpotensi  melahirkan, parlemen jalanan, reformasi, eigen richting atau main hakim sendiri dan Street Justice. “Ini karena  di Indonesia, atmosfir hukum sudah demikian kelam diselimuti dark justice,” pungkas Pakar Hukum Tata Negara dari Unpad Bandung.   NAN

Berita Terkait