Hukum Kodrat, Moral dan Pancasila sebagai Dasar Negara dalam Perspektif Keindonesiaan

by Nano Bethan
81 views
Opini

Oleh : Agus Widjajanto*

DICTUM.COM – Hukum setiap bangsa memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Pembahasan menyangkut hukum tidak mungkin hanya dibatasi dari dimensi hukum saja, melainkan juga dengan dimensi moral, etika, serta disiplin  ilmu sosiologi.

Werner Menski dalam penelitiannya di benua Asia dan Afrika  menyimpulkan bahwa penegakan hukum di dua benua itu tidak bisa hanya mengandalkan hukum positif (State Law) dalam aliran hukum positivisme seperti yang dianut oleh Indonesia. Harus juga mempertimbangkan dimensi Socio Legal serta Natural Law yang berisi tentang Moral, Etika, dan Agama.

William J.Chambliss dan Robert B Seidman menemukan sebuah dalil “The Law of non Tranferability of Law” yang berarti bahwa hukum suatu bangsa tidak bisa dialihkan begitu saja kepada bangsa lain. Hal ini untuk menghindari suatu kesenjangan yang sangat dalam antara Das Sollen   dengan Das seint, sebuah sistem hukum disuatu bangsa.

Oleh sebab itu, aliran hukum positivisme kerap ditentang dan tidak bisa murni diterapkan. Salah satu aliran adalah kembali kepada hukum kodrat atau hukum alam yang menggali dari nilai-nilai luhur sebuah bangsa dalam aturan-aturan hukum yang berlaku.

Baca juga: Harapan Untuk Pemerintahan Baru:  Memilih Pejabat yang Punya Komitmen  Memperbaiki Kondisi Penegakan Hukum

Aliran hukum kodrat atau hukum alam (natural law) sama tuanya dengan usia filsafat sebagai induk atau ibu dari segala ilmu. Kadang orang mengira bahwa aliran hukum kodrat hanya berkembang dibelahan negara barat, padahal jauh sebelum Thomas Aquinas menemukan aliran hukum kodrat, di belahan negara Timur, misalnya China (Tiongkok)  dan India sudah berkembang terlebih dahulu aliran hukum kodrat.

Filsafat Timur merupakan identitas yang diletakan pada pemikiran filosofi di kawasan timur. Yakni negara-negara di wilayah benua Asia, yang diindentifikasi sebagai Filsafat Timur, seperti Tiongkok, India, Jepang. Pemikiran-pemikiran dari timur tersebut telah ditemukan jauh sebelum Masehi yang digunakan sebagai wahana untuk mengatasi tantangan-tantangan hidup sekaligus sebagai piranti untuk meningkatkan kualitas hidup rakyat sebuah negara sesuai tradisi yang berkembang diwilayah tersebut.

Pemikiran filosofi  dari timur tidak terbatas pada pencapaian kebenaran itu sendiri, seperti untuk mencapai keselamatan dan juga pencapaian kebebasan abadi dari ikatan-ikatan duniawi yang membelenggu dirinya (Widodo Dwi Putro, Filsafat Hukum, Pergulatan Filsafat Barat dan Timur, Penerbit Kencana).

Baca juga: Filsafat Modern dan Sindrom Hiper Intelektualisme

Di Indonesia sendiri ada tiga teori hukum asli yang mewarnai perkembangan kajian dan praktek hukum, baik pemikiran, pembuatan, penerapan maupun dalam penegakannya. Tiga teory hukum tersebut adalah  Teori Hukum Pembangunan yang dipelopori oleh Prof. Mochtar Kusumaatmadja, Teori Hukum Progresif yang dipelopori oleh Prof. Satjipto Rahardjo  dan Teori Hukum Integratif yang dipelopori oleh Prof. Romly Atmasasmita .

Teori hukum pembangunan dalam perkembangan nya dikritisi oleh Teori Hukum Progresif yang digagas oleh Prof. Satjipto Rahardjo  dan teori Hukum Integratif yang merekonstruksi teori hukum pembangunan sekaligus teori Hukum Progresif.

Hal ini membuktikan bahwa suatu teori tersebut dibangun dan ditemukan berdasarkan teori-teori  sebelumnya. Teori hukum Pembangunan dari prof. Mochtar Kusumaatmadja  dan teori hukum Progresif dari Prof Satjipto  serta teori hukum Integratif dari prof. Romly.

Baca juga: Aku adalah Kita, Rekonsiliasi Permasalahan Politik Masa lalu, Dalam Pelanggaran HAM Untuk Menatap Masa Depan Bangsa

Dari tiga teori hukum yang ada, teori hukum Prof. Mochtar yang berintikan norma, proses dan Lembaga. Teori hukum progresif yang berintikan bukan manusia buat hukum melainkan hukum buat manusia. Sementara teori hukum integrative yng berbasis pada nilai-nilai Pancasila terutama prilaku birokrasi di Indonesia.

Bahwa ketiga teori hukum tersebut semuanya berpijak pada hukum yang hidup (living law) dalam masyarakat dan berdasarkan nilai-nilai yang primordial dari bangsa itu sendiri, yakni nilai- nilai yang terkandung dalam sila-sila Pancasila, sebagai dasar negara, pandangan hidup dan falsafah bangsa (Volkgeist).

Akan tetapi tidak tepat bila ada pendapat yang menyatakan penggabungan dari ketiga teori tersebut muncul sintesa baru berupa Teori Hukum Pancasila, seperti yang penulis pernah baca di sebuah jurnal. Jika merevel ketentuan Pasal 2 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menyatakan bahwa, “Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum negara”, tidaklah berarti Pancasila itu adalah hukum.

Baca juga: Saatnya Mengembalikan Marwah MPR, Mewakili Suara Rakyat Suara Tuhan

Lebih tepatnya Pancasila yang merupakan kristalisasi nilai-nilai yang bersumber dari isi jiwa bangsa (volkgeist), harus dijadikan rujukan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan (terutama pembentukan UU). Artinya, substansi Undang-Undang (apapun) yang akan dibentuk harus merujuk nilai Ketuhanan (cq. Hukum agama-agama yang diakui di Indonesia), nilai kemanusiaan (HAM), nilai kebangsaan (kepentingan bangsa dan negara), nilai demokrasi dan keadilan, seperti halnyaUUD 1945.

Roh yang ada dalam pembukaan adalah dasar (falsafah) negara, yang terjewantahkan ke dalam rumusan norma-norma pasal yang ada dalam batang tubuh UUD 1945. Kalau UUD 1945sebagai “supreme law of the land” saja, seluruh normanya dijiwai oleh Pancasila sebagai dasar (falsafah) negara maka pembentukan UU yang deraajatnya lebih rendah dari UUD 1945 harus dijiwai pula oleh nilai/sila-sila Pancasila.

Dengan kata lain, pembentukan UU akan dilandasi oleh landasan landasan moral Pancasila bila merujuk pada Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara. Oleh karena Pancasila bukanlah hukum (sebagaimana dikatakan diatas) maka tidak tepat penyebutan Teori Hukum Pancasila.

Berbicara tentang living law (hukum yang hidup dalam masyarakat) maka tidak bisa dipisahkan dengan perubahan global yang melahirkan aliran hukum Sociological Jurisprodence, yang merupakan ciri khas dari living law itu sendiri.

Baca juga: Perlu Segera Dilakukan Amandemen Terbatas Untuk Memperbaiki dan Mengembalikan Marwah UUD 1945

Keadilan merupakan sasaran utama dari hukum, maka penegakan hukum harus diarahkan antara lain untuk mencapai keadilan, baik sebagai individu maupun keadilan bagi masyarakat atau keadilan sosial. Bukan hanya keadilan formal (formal justice) melainkan juga keadilan subtansi (subtancial justice) bahkan keadilan sosial (social justice ).

Disinilah pentingnya penegak hukum dalam hal ini, hakim untuk menengok dan memperhatikan betul apa yang disebut the living law sebagai salah satu sisi  fakta sosial yang perlu dipertimbangkan untuk dijadikan pedoman memutus perkara yang memenuhi rasa keadilan masyarakat, ditengah kondisi penegakan hukum kita yang sangat memprihatinkan.

Dimana hukum dijadikan lahan bisnis berdasarkan keuntungan, yang tidak lagi berbasis keadilan masyarakat, yang jauh dari asas asas hukum, baik asasi keadilan, kemanfaatan maupun kepastian. The living law dapat dikatakan sebagai the social presure yang dapat dipertimbangkan oleh hakim di Indonesia dalam memutus suatu perkara.

Pengaruh Sociological Jurisprodence dalam proses penegakan hukum dalam kaitannya dengan falsafah Pancasila yang telah diuraikan diatas, khususnya terhadap hakim di pengadilan-pengadilan di Indonesia belum begitu nyata.

Padahal undang-undang Nomor 48 tahun 2009 sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman pasal 5 ayat (1) menegaskan bahwa hakim wajib menggali, mengikuti, memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Baca juga: Peranan MK dan Konflik Pemilukada serta Kepentingan Partai Politik

Namun faktanya, hakim-hakim kita masih terpaku pada aliran hukum positivisme yang tidak bisa lagi menjangkau dari perkembangan hukum secara global dan perkembangan masyarakat yang semakin dinamis. Selalu menciptakan hukum yang kaku sebagai pelaksana Undang-Undang dan bunyi teksaturan perudangan saja.

Semoga bisa menjadi bahan introspeksi diri untuk berani melakukan terobosan hukum untuk menerapkan teori hukum yang ditemukan di Indonesia, baik teori hukum progresif dari prof. Tjip, teori hukum pembangunan dari prof. Mochtar, maupun teori hukum integratif dari prof. Romli, sebagai bahan pijakan dan terobosan dalam memutus perkara.

Jadi seorang juris bukan hanya petugas stempel bunyi pasal Undang-Undang saja, tapi juga harus berani menciptakan frasa baru dalam aturan hukum demi tegaknya keadilan masyarakat sesuai cita cita proklamasi dan nilai-nilai Pancasila.

Tanggung jawab seorang hakim bukan hanya kepada atasan tapi kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan masyarakat sebagai abdi dalam keadilan (yudikatif) yang mahkotanya terletak pada putusan yang dibuatnya. Agar bisa terciptanya keadilan, bermahkota emas, ditengah carut marutnya kondisi sistem peradilan di negeri ini, Demi Bangsa dan Negara ***

*Praktisi Hukum, Penulis, Pemerhati Sosial Budaya, Politik dan Sejarah Bangsanya

Berita Terkait