JAKARTA, DICTUM.COM – Ahli Hukum Administrasi Negara, Prof. Dr. I Gde Pantja Astawa, SH.,MH, menegaskan bahwa anak dan cucu dari Perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) secara hukum tidak termasuk BUMN. Hal itu sebagaimana disebutkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN.
Dalam pasal itu, disebutkan BUMN adalah ‘Badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Negara melalui penyertaan secara langsung dari kekayaan negara yang dipisahkan’. Sementara anak dan cucu Perusahaan yang dimiliki BUMN, sahamnya tidak dimiliki oleh Negara, melainkan dimiliki oleh BUMN itu.
Hal itu ditegaskan Guru Besar senior dari Universitas Padjajaran Bandung (Unpad) itu menjawab pertanyaan kuasa hukum tersangka CSY, Rabu, 23 Oktober 2024 dalam sidang gugatan praperadilan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan.
CSY mengajukan permohonan praperadilan melalui tim kuasa hukumnya dari Kantor Pengacara Agus Widjajanto & Partners terhadap Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta terkait penetapan dirinya sebagai tersangka.
Baca juga: Penetapan Tersangka Dugaan Korupsi Indofarma Tbk, Atmosfir Hukum Indonesia Sudah Demikian Kelam, Diselimuti Dark Justice
Mantan Head of Finance PT Indofarma Global Medika (IGM), anak usaha dari PT Indofarma Tbk, ditetapkan tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi pengelolaan keuangan PT Indofarma Tbk dan Anak Perusahaan Tahun 2020-2023.
Seperti diketahui, CSY, ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejati DKI Jakarta bersama eks Direktur Utama PT Indofarma, Arief Pramuhanto (AP) dan eks Direktur PT Indofarma Global Medika (PT IGM), Gigik S Raharjo (GSR).
“Anak dan cucu perusahaan BUMN merupakan badan usaha dan badan hukum perdata tersendiri serta terpisah secara hukum dengan induknya, karena memiliki regulasi, tata kelola, resiko, dan kewajibannya sendiri, yang berbeda dengan BUMN dan Negara secara keseluruhan,” jelas ahli dari pihak pemohon praperadilan.
Baca juga: Korupsi PT Indofarma Tbk, Bongkar Kebobrokan Manajemen, Tersangka CSY, Diduga sebagai Tumbal Mantan Petinggi Perusahaan
Guru Besar senior Unpad ini menyatakan, anak dan cucu perusahaan BUMN merupakan badan usaha dan badan hukum perdata tersendiri yang terpisah secara hukum dengan induknya, maka anak dan cucu perusahaan BUMN tunduk sepenuhnya pada ketentuan dan prinsip dalam UU No. 40 / 2007 tentang Perseroan Terbatas. Selain itu, modalnya tidak berasal dari Negara dan tidak pula dimiliki oleh Negara, sehingga tidak termasuk BUMN.
Prof. Pantja Astawa menegaskan bahwa, tidak terdapat kekayaan Negara yang dipisahkan yang dibuktikan dengan adanya Peraturan Pemerintah yang menetapkan pemberian modal Negara kepada perusahaan tersebut. Hal itu terlihat jelas dalam Akta Pendirian anak dan cucu perusahaan BUMN, dimana tidak terdapat pernyataan bahwa modal yang ditanamkan dan diambil bagiannya sebagai saham dalam perusahaan tersebut, merupakan kekayaan Negara yang dipisahkan atau kekayaan BUMN yang kemudian diteruskan sebagai modal.
“Secara hukum, untuk menunjukkan suatu anak dan cucu perusahaan BUMN, saham atau modalnya dimiliki sebagian atau seluruhnya oleh Negara, adalah dengan pencantuman nama ‘PERSERO’ di belakang nama anak dan cucu perusahaan BUMN,” jelasnya.
Baca juga: Dugaan Korupsi Indofarma Tbk, Tim Kuasa Hukum Tersangka Cecep SY Melakukan Langkah dan Upaya Hukum Praperadilan
Dengan demikian, kata Prof. Pantja Astawa, tidak ada relevansinya dengan Kerugian Negara, karena memang tidak ada keuangan Negara atau kekayaan Negara yang berasal dari APBN yang dipisahkan, baik dalam bentuk modal usaha maupun dalam bentuk saham. “Kerugian yang terjadi dalam usaha anak dan cucu perusahaan BUMN, boleh jadi karena mismanagement atau karena business loss,” lanjutnya.
Terlepas dari faktor – faktor yang menjadi penyebab timbulnya kerugian, maka penyelesaiannya adalah bahwa Direksi harus mempertanggungjawabkan dalam forum RUPS dengan merujuk pada prinsip atau asas Business Judgment Rules sebagaimana dinormativisasi dalam ketentuan Pasal 97 ayat (5) UU No. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas.
Pakar Hukum Administrasi Negara asal Bali ini berpendapat, penetapan CSY, Head of Finance PT IGM yang merupakan anak usaha dari PT Indofarma Tbk sebagai tersangka oleh Kejati DKI Jakarta tidak beralasan secara hukum. Sebab tidak ada keuangan Negara ataupun kekayaan Negara yang dipisahkan yang digunakan sebagai modal usaha maupun yang berbentuk saham dalam anak dan cucu perusahaan BUMN.
“Dalam konteks ini, jelas dan nyata terjadi pelanggaran HAM, menyangkut hak – hak dalam proses hukum serta tidak ada hak – hak yang didengar sesuai dengan asas Audi et Alteram Partem (mendengarkan dua belah pihak),” ungkap Prof. Pantja Astawa.
Baca juga: Perpres nomor 122 tahun 2024, tentang Pembentukan Kortastipidkor Polri, Tumpang Tindih Penanganan Tindak Pidana Korupsi
Sementara itu Ahli Pidana Universitas Trisakti Jakarta, Dr. Maria Silvya Elisabeth Wangga, SH., MH., dalam pendapatnya mengatakan, due process of law lahir dari pengakuan HAM sebagai tercantum dalam magna carta. Proses peradilan harus dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan dengan tidak membeda-bedakan.
“Pemeriksaan dilakukan dalam keadaan bebas, memiliki asas praduga tidak bersalah, dan didampingi penasehat hukum. Sehingga ketika tidak didampingi penasehat hukum dalam pemeriksaan, maka itu bertentangan due process of law. Jadi adanya pelanggaran prosedur,” ungkapnya.
Lebih lanjut ahli yang diajukan pemohon praperadilan ini mengatakan, merujuk KUHAP mengenai hak tersangka, ketika dimulainya penyidikan sebagaimana Putusan MK 130/2014, penyidik wajib memberitahukan SPDP kepada pelapor, korban, dan terlapor dalam waktu 7 hari sejak penyidikan.
Sebelum diperiksa sebagai tersangka, terlapor atau calon tersangka harus diberi tahu terlebih dahulu sebagai calon tersangka yang kegunaannya untuk menyiapkan pembelaan. “Jika proses tersebut terlewatkan, maka diajukan praperadilan. Jika penetapan tersangka atau pemeriksaan tersangka yang tidak sesuai dengan prosedur, maka itu mengandung kecacatan,” tegas Dr. Maria Silvya.
Lebih lanjut dikatakan, KUHAP berlaku untuk semua sistem peradilan pidana, bukan hanya dalam delik pidana umum, tapi juga lex specialis dalam tindak pidana korupsi, yang mana hak tersangka diberikan sejak dari pemeriksaan saksi.
Menurut Dr. Maria Silvya, BAP (Berita Acara Pemeriksaan) paling krusial justru saat pemeriksaan saksi dan harus didampingi penasihat hukum, agar tidak ada tekanan, jebakan, intimidasi dan itu bagian dari due proces of law, suatu rangkaian peristiwa yang tidak bisa terpisahkan termasuk penerapan pasal dan Undang Undang. “Jika salah, sudah layak untuk diuji di praperadilan, karena MK sendiri dalam putusanya memberikan kesempatan frasa baru dalam kewenangan praperadilan,” pungkas Dr. Maria Silvya. NAN