Berharap Ada Keadilan, Petani Karangasem Optimis Masih Ada Hakim Di Mahkamah Agung yang Berhati Nurani      

by Nano Bethan
80 views
Selepeg

KARANGASEM, DICTUM.COM – Tinggal bersama keluarga kecilnya  di rumah semipermanen, mengantungkan hidup dari hasil ladang dengan memiliki cubang besar di halaman rumah untuk memenuhi kebutuhan air, itulah kondisi keseharian I Made Kasih alias Selepeg.

Ketenangan hidup, kemerdekaan dari petani miskin ini terancam hilang setelah Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Amlapura, Karangasem, Kamis 15 Agustus 2024 memvonis, I Made Kasih bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dan diancam pidana Pasal 242 ayat (1) KUHP.

Selepeg dinyatakan terbukti memberikan keterangan palsu   dalam sidang Perdata Nomor: 56/Pdt.G/2013/PN.Ap, dan dihukum pidana penjara dua tahun.  Perkara Perdata tersebut menyangkut sengketa hak ahli waris atas kepemilikan tanah di Banjar Dinas Tanah Barak, Desa Seraya Timur, Karangasem. nDemikian Selepeg dengan suara bergetar bercerita tentang perjalanan hidupnya ketika ditemui, Jumat, 25 Oktober 2024 lalu.

Selepeg menyatakan kecewa dengan putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Amlapura, yang dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Denpasar dalam Putusan Banding. Dia mengaku hanya menerangkan dokumen kepemilikan tanah leluhurnya saat menjadi saksi pada sidang perdata nomor 56/ Pdt.G/ 2013/ PN.Ap.

Ketika bersaksi, dirinya mengajukan dokumen kepemilikan tanah waris yakni pipil lontar atas nama, I Sutiarmin Sukun, Paro Sukun. Selain itu ada bukti surat tagihan pajak atas nama I Sutiarmin serta silsilah keluarga tahun 1962, dan tahun 2012 yang dia buat sendiri. Semua yang diajukan dipersidangan itu, dikatakan palsu oleh orang lain, yang bukan keluarga atau tidak ada hubungan waris dengannya.

“Saya percaya Ida Sesuhunan (Tuhan dengan manifestasinya) akan memberi hukuman bagi kezoliman. Tanah Bali tenget (angker), tidak ada satu pun manusia yang berbohong kepada ibu pertiwi akan selamat,” cetusnya dengan nada lirih.

Kekecewaannya atas ketidakadilan yang dirasa bukan tanpa alasan yang kuat. Melalui kuasa hukumnya, dia berpendapat dakwaan atas kasus itu lemah. Pada saat yang sama, banyak fakta yang dinilai diabaikan oleh hakim.

Singkat kata, Selepeg menyatakan tuduhan memberi keterangan palsu dan pembuatan silsilah tanah yang dipermasalahkan tersebut, tidak memiliki dasar yang kuat. Nama I Sutiarmin Sukun yang merupakan leluhur dia diklaim sebagai leluhur dari pelapor hanya berdasarkan silsilah yang dibuat tahun 1992.

Selepeg mengisahkan, nama kakeknya, I Sutiarmin Sukun alias Paro Sukun alias I Sutiarmin tercantum dengan benar dalam dokumen pipil lontar satu sampai dengan enam atas nama I Sutiarmin Sukun dan Paro Sukun. Tagihan pajak juga atas nama I Sutiarmin.

Hal ini yang dibeberkan di persidangan perdata sesuai keyakinan dan pengetahuan yang dimiliki saat itu, dengan menerangkan “semua tanah-tanah sengketa,  ada atas nama, I Sutiarmin Sukun, ada atas nama Paro Sukun dan ada atas nama I Sutiarmin, anak laki laki pertama dari I Sudiani”.

Namun, oleh Panitera ditulis “semua tanah- tanah sengketa atas nama I Sutiarmin Sukun alias Paro Sukun alias I Sutiarmin anak laki-laki pertama dari I Sudiani. Majelis hakim dinilai lebih menitikberatkan pada perbedaan nama dalam dokumen, tanpa mempertimbangkan keseluruhan bukti yang disajikan.

Selepeg menuding laporan dari, I Nyoman Kanis terkait pembuatan silsilah palsu, adalah upaya merebut hak waris tanah yang selama ini dikelola keluarganya dengan mencantumkan nama, I Sutiarmin Sukun dalam silsilah keluarga yang dibuatnya dan tidak didukung dengan dokumen lain. Hanya berdasarkan informasi dan mampu membuat sampai dengan enam generasi ke atas.

“Sementara silsilah saya tahun 2012 yang dikatakan palsu, didukung dokumen berupa silsilah tahun 1962 yang dibuat sendiri oleh I Sutiarmin Sukun. Bukti hak atas tanah berupa pipil lontar satu sampai dengan enam, tagihan pajak, surat keterangan keluarga I Sutiarmin Sukun, surat pernyataan dan lainnya,” beber Selepeg.

Menimbang kondisi yang ada, dia berharap melalui proses hukum yang benar, hak atas tanah yang menjadi warisan keluarganya tetap terjaga. Sebenarnya untuk kasus perdata dia sudah dikuatkan dengan putusan perdata yang menyatakan dia dan keluarga sebagai ahli waris yang sah serta berkuatan hukum tetap sejak tahun 2015. “Sayang,  sampai saat ini tidak saya dapatkan walau sudah delapan kali mengajukan permohonan eksekusi,” katanya dengan getir.

“Kami tak ada hubungan keluarga dengan mereka. Mereka hanya penggarap, tetapi berupaya menguasai lahan kami. Klaim mereka tidak didukung bukti dokumen baik alas hak maupun dokumen lainnya. Dokumen yang diajukan penuntut umum tidak ada yang asli, seperti silsilah asli, baik silsilah pelapor maupun silsilah saya tahun 2012 yang dikatakan palsu tidak pernah dihadirkan di persidangan, hanya fotokopi. Apakah itu bisa dianggap bukti kuat?” lanjut Selepeg.

Lebih lanjut dia menjelaskan, tanah tersebut tercatat atas nama Sutiarmin Sukun, Paro Sukun dan I Sutiarmin anak dari I Sudiani. Selain itu masih terdapat sejumlah bukti. Selepeg optimis dan penuh harapan bahwa dalam proses kasasi di Mahkamah Agung masih ada Hakim yang mempunyai hati nurani untuk menyatakan kebenaran, sehingga seluruh kebenaran akan terungkap, dan keadilan akan berpihak pada keluarganya.

“Vonis ini tidak mencerminkan keadilan. Kasus ini memiliki sejarah panjang yang patut diperhitungkan lebih mendalam. Sebab, bila ini ditetapkan, akan menjadi hukum bagi siapa saja nanti akan mendapat pembenaran untuk mengatakan silsilah orang lain palsu dengan mencantumkan nama yang sama. Keterangan yang saya berikan bukan upaya untuk menyesatkan, melainkan berdasarkan pemahaman saya sesuai dengan dokumen kepemilikan tanah warisan yang saya miliki,” bebernya.

Karena posisi kasus pidana ini dikaitkan dengan kasus perdata yang disidangkan sebelumnya, Selepeg menduga ada konflik kepentingan dalam penanganan kasus ini. Dugaan itu lahir, karena mereka menilai proses hukum kurang transparan,  bukti yang dihadirkan tidak ada yang asli, saksi tidak mengetahui langsung, dia tidak ada hubungan keluarga dan tidak ada perikatan perdata, dan Panitera salah mencatatkan keterangan dia, serta bukti rekaman sidang dan berita acara sidang perdata nomor 56/ Pdt.G/2013/PN.Ap tidak dihadirkan di persidangan.

Putusan majelis hakim berbeda jauh dari bukti yang mereka ajukan. Selepeg berharap pengadilan yang lebih tinggi mampu meninjau ulang bukti, kesaksian, dan putusan baik di tingkat pertama maupun banding, sehingga keadilan yang diharap dapat terwujud.

“Saya menaruh harapan dan keyakinan dalam proses kasasi kebenaran akan terungkap, dan keadilan akan ditegakkan untuk saya sebagai orang awam hukum, masyarakat kecil yang tidak berpendidikan,” imbuhnya berusaha optimis.

Disinggung kemungkinan ada “orang kuat” yang melindungi pelapor untuk merekayasa hukum supaya bisa menguasai lahan warisan leluhurnya, Selepeg tidak menjawab lugas. Dia berujar hanya mendengar ada oknum anggota DPR RI dari partai besar yang berlatar belakang advokat di belakang pelapor. Namun, apalah ada intervensi kekuasaan dalam proses pelaporan sampai putusan hakim dijatuhkan, dia mengaku tidak tahu.

“Semoga tidak benar ada intervensi dari oknum itu, seperti informasi yang saya dengar. Tapi jika benar, kami mohon lembaga yudikatif, khususnya MA, dan Komisi Yudisial mengembalikan marwah lembaga untuk bisa memberi keadilan hukum tanpa memandang status atau kedudukan seseorang,” harap petani di pelosok Karangasem itu. NAN

Berita Terkait