Merefleksi Kembali Ajaran Taman Siswa dalam Sistem Pendidikan Kita

by Nano Bethan
17 views
Opini

Oleh: Agus Widjajanto*

DICTUM.COM – Pendidikan adalah sebuah usaha kebudayaan yang bertujuan untuk menuntun pertumbuhan jiwa dan raga anak. Pendidikan juga merupakan media untuk mewujudkan manusia yang merdeka secara lahir maupun batin. Guru berperan sebagai pamong atau pembimbing yang mendidik murid nya dengan kasih sayang dengan kesadaran personal.

Guru harus tetap berpegang pada kemampuan dasar siswa/murid dengan mendorong untuk mengungkapkan kemampuan berpikir tapi tetap  berbudi luhur. Seorang Guru, Dosen, pada semua level pendidikan harus berpikir, berperasaan dan bersikap seperti juru tani, dimana menggarap tanah disesuaikan dengan karakteristik tanah tersebut, tanaman apa yang paling cocok ditanami.  Demikian juga  terhadap siswa/muridnya, seorang guru tidak bisa merubah karakter dari siswa, akan tetapi hanya bisa memperbaiki dan memperindah harmoni nya.

Tut Wuri Handayani (Guru memberikan dorongan, semangat kepada muridnya), Ing Ngarso Sung Tulada, Guru dan pemimpin bangsa  didepan rakyatnya. Guru, Dosen didepan  murid/siswa, harus memberikan contoh tauladan yang baik  dalam pengajaran untuk mencetak generasi penerus  yang berbudi luhur, bukan hanya generasi yang cerdas seperti robot sesuai tehnologi kecerdasan buatan A1. Dimana  Moto,  Ing  Madya Mangun Karsa, yang artinya guru harus membangun motivasi memberikan semangat kepada murid atau siswanya, harus bisa lebih baik untuk nanti mendarma baktikan kepada keluarga, masyarakat  dan Bangsanya.

Semboyan Tut Wuri Handayani yang diabadikan sebagai logo Kementerian Pendidikan  Riset dan Tehnologi (Kemendikbudristek) yang hanya menjadi simbol. Sistem pendidikannya justru telah mengamputasi semboyan dari pendiri Taman Siswa itu sendiri, dengan menghilangkan mata pelajaran dasar pada pelajaran Bahasa daerah, Pancasila, Sejarah Bangsa dan membentuk karakter siswa sejak dini.

Akibatnya, hasil dari pendidikan yang melupakan pendidikan karakter, adalah menghasilkan generasi yang individual, dan rasa nasionalisme yang luntur, serta budaya sopan santun juga telah hilang. Yang ada adalah sebuah generasi yang arogan  dan merasa paling benar serta lebih  cerdas dibanding generasi orang tuanya.

Melihat fenomena tersebut sebenarnya Pendidikan di  Indonesia tidak dalam keadaan baik-baik saja. Perlu terobosan untuk memperbaiki sistem yang dibangun sejak pasca runtuhnya Orde Baru memasuki era Reformasi yang sudah keluar jalur serta  kebablasan. Harapan ini ditujukan kepada presiden terpilih tahun 2024 agar lebih bisa peka dan tanggap bahwa ada yang salah dan perlu dilakukan terobosan radikal untuk memperbaiki .

Fenomena tersebut tidak bisa dilepaskan karena terjadinya “degradasi moral” dari anak bangsa itu sendiri yang merupakan tugas kita semua. Mengajarkan moral dan etika serta cinta tanah air, sopan santun, rasa berbagi, toleransi antar umat beragama karena Negeri ini terdiri dari berbagai  suku  dengan ratusan bahkan ribuan bahasa daerah.

Harus dimulai sejak usia dini, yang merupakan tugas kita semua seluruh elemen anak bangsa, baik orang tua, guru baik tingkat Pendidikan Dasar, Menengah,  Dosen dan  Guru Besar pada Perguruan Tinggi, Agamawan, Budayawan serta Pejabat Negara pengambil kebijakan. Sementara sistem pendidikan kita dalam proses belajar mengajar sudah dibuat sedemian rupa seperti halnya sistem pendidikan di Eropa.

Dimana pada usia dini sudah dijejali  matematika, logaritma, bahasa asing, yang merupakan pelajaran berat yang diajarkan di level pendidikan Menengah Atas atau yang lebih tinggi. Sementara justru menghapus beberapa mata pelajaran Budi Pekerti, Cinta Tanah Air, penghormatan terhadap guru, sopan santun  dan bahasa daerah  serta sejarah bangsa. Seharusnya tetap melekat pada usia dini karena merupakan dasar dari pada membentuk karakter anak dan manusia seutuhnya dikemudian hari.

Di Jepang yang merupakan negara maju  dan negara industri, sistem pendidikan di usia dini kelas satu sampai kelas tiga Sekolah Dasar, hanya diajarkan ekstra kulikuler bidang olah raga untuk membentuk tubuh yang sehat, serta diajarkan khusus  pendidikan budi pekerti, sopan santun, sosialisasi sesama teman dan bersih terhadap  lingkungan serta menghormati guru, orang tua, dan cinta budaya  tanah air.

Di Jepang dalam proses belajar tingkat dasar, kelas satu hingga kelas empat, tidak ada ujian seperti di negara kita. Guru memantau karakter dan cara bersosialisasi dalam pergaulan, sopan santunnya terhadap orang yang lebih tua  dan guru. Dengan sistem pendidikan tersebut apakah Jepang menjadi negara terbelakang? Ternyata tidak, Jepang tetap sebagai negara industri maju, negara kampiun industri mobil, digital, elektronik , dan sumber keuangan dunia.

Berikan kepada siswa di semua strata pendidikan, kebebasan untuk berekpresi dalam berpikir agar menemukan ide-ide baru, melakukan nemukan terobosan baru, tanpa dikungkung oleh aturan dogma, tata cara dan juklak dimana kebebasan berekpresi untuk berpikir. Peran guru dan Dosen hanya sebatas juru tani, memberikan bimbingan dengan cara didepan siswa/mahasiswa memberi contoh, ditengah memberi semangat  dan dibelakang memberi dorongan. Itulah sebenarnya arti semboyan “Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madya Mangun Karso dan Tut Wuri Handayani.

Jaman saya kecil dulu pada tahun 70-an dengan  sistem pendidikan lama, diajarkan tata cara menulis huruf latin halus, menulis huruf honocoroko yang merupakan bagian sejarah dari bangsa ini, diajarkan sopan santun, unggah-ungguh, hormat terhadap guru serta  orang yang lebih tua dan orang tua.

Saking kerasnya seorang guru mengajarkan disiplin terhadap muridnya agar menjadi manusia yang berahlak bertanggung jawab serta berbudi luhur dan di jaman itu guru sangat dihormati. Coba jaman reformasi sekarang, guru dianggap teman, apabila  ada guru menghukum muridnya disekolah, yang ada guru dilaporkan ke polisi oleh orang tua murid karena dianggap semena mena.

Disinilah telah tejadi pergeseran nilai dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, serta bermasyarakat yang  menafsirkan  sesuai nilai nilai Pancasila  dan ajaran Bapak Taman Siswa, Tut Wuri Handayani, Ing KarsoSun Tulodo. Tidak lagi terdengar diajarkan pada bangku-bangku sekolah oleh guru-guru kita, bahkan lebih berorientasi pada pendidikan yang menguntungkan secara finalcial (Education Bisnis). Jangan  kaget biaya pendidikan  begitu mahal saat ini yang harus ditanggung masyarakat.

Pembelajaran sopan santun, tata krama, sosialisasi cara bergaul  yang dilakukan sejak usia dini  tentu setidaknya akan melekat pola pikir di usia dini dari anak anak kita, agar menjadi pribadi yang luhur, jujur dan penuh toleransi terhadap sesama.  Bahkan sekarang kabarnya ditingkat Perguruan Tinggi rencananya mata kuliah Pancasila dihilangkan di semester pertama  pada beberapa universitas baik negeri maupun swasta.

Hal ini berbanding terbalik dengan masa pemerintahan Orde Baru yang mengajarkan nilai nilai Pancasila lewat program  Eka Prasetya Panca Karsa, untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat, pejabat, kaum pendidik, agar bisa memberikan suri tauladan kepada masyarakat diajarkan, apa itu makna dan nilai-nilai dari Pancasila.

Di dunia dengan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi yang seolah olah tidak ada lagi batas negara, dengan kemajuan tersebut hampir semua anak bangsa menggunakan internet, listrik, bahkan masa pandemi covid, dilakukan lock down dirumahkan. Memaksa masyarakat untuk  rapat dan sistem belajar mengajar menggunakan Zoom di internet.

Belum lagi sistem perbankan, bahkan mobil juga bertenaga listrik, yang tentu itu semua bermuara pada sistem kontrol, tergantung  pada Cip yang diciptakan berdasarkan teknologi canggih yang tidak semua negara mampu menguasai dan membuat nya. Jadi seolah-olah kita digiring pada suatu kondisi tertentu secara bersamaan dan merata. Apakah kita pernah membayangkan secara imajinasi saja, pada suatu ketiga terjadi Shotdwon (Mematikan seluruh sistem dan komputerisasi) sedangkan sistem yang dibangun menggunakan teknologi yang belum sepenuhnya kita kuasai.

Harus belajar dari kasus negara Estonia , dimana saat Shootdwon seluruh operasi perbankan dan operasional internet mati, yang berakibat seluruh jaringan mati, dimana Estonia saat itu mengalami kelumpuhan total. Ini harus kita pikirkan bersama, teknologi seolah membuat kita bangga dan hebat, padahal sebetulnya membuat diri kita semakin bodoh karena dikuasai oleh sistem tehnologi tersebut dan kita tidak bisa berbuat banyak kecuali ikut arus sistem tersebut.

Contoh segala internet  pakai pulsa, token listrik, tarik tunai uang dalam perbankan, tranfer, telpon  dan sebagainya. Mau tidak mau kita dipaksa untuk ikuti sistem  dunia tersebut, yang pada titik tertentu bukan tidak mungkin jikalau terjadi turbulensi dalam sistem, berakibat mati total dan lumpuh pada semua sektor.

Bahwa suatu sistem yang dirancang dan diciptakan  salah akan membuat orang baik akan terseret dalam  turbulensi lingkungan  menjadi orang jelek dalam kapasitasnya sebagai warga negara, tapi dengan sistem yang baik, orang yang jelek secara mens rea (niat jahat) akan terkikis dan ikut terseret menjadi baik karena sistem yang bagus .

Demikian juga dalam kehidupan politik, setiap hari dipertontonkan dengan hujatan karena pilihan berbeda dalam politik, ditengah kebebasan dalam mengeluarkan pendapat, belum lagi pada masa lalu terjadi politik identitas menyangkut keagamaan dalam pilkada, yang menggiring masyarakat  pada potensi perpecahan antar umat beragama.

Masyarakat digiring pada opini dikaitkan dengan keagamaan, bahkan surga dan neraka, hal ini akibat dari adanya kebebasan yang tidak dibarengi dengan rasa bertanggung jawab akibat dari pada dirubahnya sistem ketatanegaraan.

Hukum dasar kita yakni UUD 1945 telah diamandemen hingga empat kali, yang merubah format dari sistem perwakilan menjadi sistem pemilihan langsung, menggunakan proporsional terbuka dalam sistem pemilihan dalam partai politik, hal ini akan berimbas pada suatu  mata rantai yang saling terkait pada  bidang yang lain, karena cost yang ditimbulkan sangat besar. Tentu bermuara pada saat menjabat akan berorientasi pengembalian modal, dalam masa jabatannya.

Karena sistem proporsional terbuka siapapun calon legislatif, baik berusia muda maupun tua, belum lama masuk partai politik dan dengan pengalaman yang masih sangat minim  boleh mencalonkan diri.Pada akhirnya terjadi politik transaksional, layaknya pada negara sistem liberal yang berorientasi ekonomi kapitalis, yang setiap calon baik calon  kepala daerah, calon legislatif, Bupati, Walikota, Gubernur,  bahkan Presiden ditengarai para ahli politik didukung oleh oligarki, yang tentu tidak ada makan siang yang gratis.

Hal ini berakibat pada sistem dan kondisi perekrutan jabatan jabatan strategis, baik di pemerintahan, penegak hukum, perbankan, menjadi ajang transaksional  yang muaranya akan timbul ketidak pastian dalam segala bidang, termasuk dalam bidang penegakan hukum, baik di tingkat penyidikan, penuturan maupun ditingkat peradilan pada Pengadilan Negeri hingga Mahkamah Agung.

Masih jauh dari rasa keadilan, yang kerap dijumpai adalah adanya peradilan yang sangat mahal yang harus ditebus oleh para pencari keadilan dan terjadi penjungkir balikkan aturan hukum positif demi kepentingan tertentu,  hal ini diakibatkan oleh, adanya degradasi moral dari anak bangsa dan sistem yang dibangun sudah salah kaprah yang telah dikoyak dan diporandakan   sistem yang  yang ada.

Dibuat dengan konsep baru yang berorientasi pada soko guru negara liberal dengan sistem ekonomi kapitalis, yang telah keluar dari rel konsep lama yang telah dibangun oleh para pendahulu kita, para pemimpin pemimpin kita masa lalu.

Bahkan ada sementara pihak yang beranggapan Pancasila adalah produk Politik Hukum yang lahir pada tgl 1 Juni 1945 dan disahkan pada tgl 18 Agustus 1945. Artinya, Pancasila bukan lagi merupakan Filosofi dan pandangan hidup bangsa yang mengilhami seluruh tatanan bernegara yang telah hidup beribu-ribu tahun sebelum Indonesia Merdeka.

Digali oleh Bung karno melalui ajaran luhur nenek moyang saat Kerajaan Besar di Nusantara, yang merupakan Local Wisdom, diambil dari Kitab Negara Kertagama dan ajaran wulang Reh, tapi merupakan produk hukum yang merupakan politik hukum saat Indonesia Merdeka. Ini yang harus diluruskan kepada Generasi muda  Bangsa oleh para Guru, Dosen, Sejarawan, Budayawan, kaum Agamawan untuk mencetak generasi muda yang berbudi luhur.

Sementara itu, dari kalangan pendidik sendiri yakni Guru Besar Senior Hukum Tata Negara Dan Administrasi Negara Dari Universitas Padjajaran Bandung , Prof Dr I Gde Pantja Astawa, berpendapat terkait sistem Pendidikan menyatakan, terlalu banyak masalah di sektor pendidikan yang terjadi selama ini. Satu dan lain hal lebih terletak pada komitmen negara terhadap sektor Pendidikan dan juga Kesehatan, sebagai salah satu tolok ukur kemajuan peradaban bangsa dan negara.

Berbagai macam kebijakan di sektor pendidikan silih berganti karena ketiadaan “Blue Print” yang jelas, terukur, dan terarah tentang apa yang akan dibangun di sektor pendidikan (bukan pengajaran) dalam arti luas. Bukan hanya ditujukan untuk mencerdaskan peserta didik, juga dan terutama bagaimana membangun dan melahirkan peserta didik yang mandiri, disiplin, pintar dan berkarakter.

Menurut Prof. Pantja Astawa, bukan hanya terletak pada upaya untuk mencerdaskan peserta didik, namun juga karakter, mental, moral, etika anak didik jauh lebih penting untuk membangun masa depan negara dan bangsa ini. Bagaimana tujuan mulia pendidikan yang berfalsafahkan Ing Ngarso Sung Tulodo, In Madyo Mangun Karso dan Tut Wuri Handayani, bisa menjadi kenyataan kalau kebijakan yang dikeluarkan pihak yang memiliki otoritas lebih berkonotasi komersial. Menjadikan sekolah dan PTN/PTS ladang bisnis, sementara kesejahteraan guru/dosen jauh api dari panggangnya (lebih rendah dari UMR) ?

Dalam kondisi demikian, bagaimana kita bisa mampu melahirkan Pendidik yang berintegritas dan berani menyarakan kebenaran ? Hal ini adalah tantangan dan pekerjaan rumah yang harus dipikirkan betul solusi dan kebijakan nya oleh pemerintahan baru, Probowo Subianto, karena ini demi masa depan Bangsa dan Negara.

Kita harus belajar pada sejarah , tepatnya sejarah berdirinya bangsa ini yang dibentuk oleh para pendiri bangsa (Founding Father) bahwa negara ini dibentuk dari awal adalah sebagai negara kesatuan berbentuk Republik yang menyatukan segala perbedaan baik agama, suku, ras, budaya, adat istiadat, bahasa.

Menjadi satu tujuan berdirinya negara Republik Indonesia yang berdasarkan sistem perwakilan sesuai sila ke empat dari Pancasila  dan sistem ekonomi kerakyatan secara gotong royong, dengan dasar dan falsafah serta pandangan hidup bangsa yakni Pancasila, bukan negara liberal yang berorientasi sistem kapitalis.

Juga bukan negara sosialis dengan sistem ekonominya sosialis, tapi sebuah negara dengan konsep ketatanegaraan ala Indonesia yang dengan konsep ekonomi kerakyatan dengan cara gotong royong  diilhami dari nilai-nilai luhur para leluhur jaman dulu yang lalu dikonsep ulang oleh para  pendiri bangsa dan nenek  moyang bangsa ini. Bukan pula negara agama akan tetapi negara yang melindungi segenap umat beragama dalam menjalankan ibadahnya.

Ini merupakan tanggung jawab kita bersama, seluruh elemen bangsa dan harus merefleksi diri kita bahwa kita telah gagal dalam menghantarkan para calon-calon pemimpin  bangsa pada proses kawah pendidikan kawah  Candradimuka pada bidang  pendidikan, baik pada tingkat menengah atas hingga perguruan tinggi, yang melahirkan para anak bangsa yang telah menjabat  dari berbagai strata  dengan kondisi korupsi yang masif dari berbagai lini.

Walau dibentuk rasuah anti korupsi seperti KPK tidak bisa berbuat banyak, justru korupsi terbesar dibongkar oleh kejaksaan agung dan ini sungguh memprihatinkan. Mungkin benar oleh Pujangga Raden Ngabehi Ronggo Warsito bilang, ini jaman edan atau jaman kolo bendu, yen ora edan ora keduman (kalau tidak ikut berbuat menyimpang tidak dapat hidup), yang digambarkan sebagai periode konflik dan permusuhan antara berbagai komponen bangsa, yang dipicu oleh manipulasi dalang yang tidak terlihat yang mengendalikan peristiwa dibalik layar.

Maka tiada kata yang tepat, sebelum kita tersesat jauh dan terlambat dimana bangsa ini  telah kehilangan jati diri dan Ruh nya keIndonesiaan. Kembalilah belajar dari sejarah masa lalu  dan jangan sekali kali melupakan sejarah bangsa ini, karena esok hari ditentukan oleh langkah kita hari ini.****

*Penulis adalah Pemerhati Sosial, Budaya, Politik dan Hukum serta Sejarah Bangsanya

Berita Terkait