Radikalisme, Pemahaman Agama dan Terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia

by Nano Bethan
26 views
Opini

Oleh: Agus Widjajanto*

TABLOIDDICTUM – Tidak bisa dipungkiri memang di masyarakat kita masih saja ada pemahaman tentang Tafsir Agama yang menjurus kepada Radikalisme untuk mencapai yang dicita citakan oleh kelompok dan golongan mereka untuk membentuk sebuah Negara berdasarkan Agama.

Mereka lupa akan sejarah  Kemerdekaan Bangsa  ini melalui Proklamasi, 17 Agustus 1945, dilanjutkan dengan berdirinya Negara Kesatuan RI, 18 Agustus 1945, setelah seluruh perangkat syarat adanya sebuah negara berdasar hukum international terpenuhi yakni, adanya suatu wilayah teritorial, masyarakat, hukum tertulis sebagai hukum dasar, pemerintahan yang sah dan adanya pengakuan dari negara lain.

Bahwa bangsa  ini telah melalui catatan sejarah panjang yang pernah mengalami perang agama pada medio abad ke tujuh Masehi. Pada kerajaan Mataram Kuno (Hindu) terjadinya perseteruan antara Dinasti Sanjaya,  didirikan oleh Raja Sanjaya, tahun 732 hingga 760 Masehi yang beragama Hindu Siwa, di bagian Utara Kerajaan Mataram kuno dengan Dinasti Syailendra beragama Budha, dibagian Selatan Mataram kuno.

Kedua kerajaan tersebut berhasil disatukan oleh perkawinan politis antara  Rakai Pikatan dari dinasti dengan  Pramordhawardani dari dinasti Syailendra. Rakai Pikatan oleh para ahli sejarah, merupakan Arsitek Candi Borobudur, sebagai penghormatan kepada istrinya  yang bergelar Resi Gunadarma  dan mendirikan candi Bercorak Hindu di selatan Jogja yakni candi Prambanan.

Jadi sebenarnya sudah lewat jaman apabila  mempermasalahkan agama, kepercayaan dalam kaitan dengan ketatanegaraan di Nusantara. Pada saat jaman keemasan  Kerajaan Majapahit, saat Raja Hayam Wuruk, seorang sastrawan beragama Budha, yakni Empu Prapanca  menulis buku Kakawin Negara Kertagama, yang menuliskan kondisi saat itu  antara Agama Hindu Siwa dengan agama Budha bersanding hidup rukun tanpa terjadi gesekan soal keyakinan.

Bahkan Mpu Tantular menulis  dalam bukunya Kitab Sutasoma, melalui kata-kata yang sangat legendaris dijadikan Lambang Negara kita, Bhineka Tunggal Ika, yang berarti berbeda beda tetap satu kesatuan dalam cita cita bersama. Memang sejak awal Negara ini didirikan oleh para Founding Father kita, berdasarkan segala perbedaan, baik secara Agama, Ras, Suku, Adat istiadat dan bahasa daerah, menuju cita cita bersama, yang diikat oleh nilai-nilai bersama dalam Pancasila.

Sangat disayangkan apabila diantara saudara- saudara kita, masih saja ada yang berfikir untuk menciptakan sebuah Negara berdasarkan Agama, melalui  perjuangan dengan cara Radikalisme yang merugikan saudara sebangsa sendiri. Ini  adalah pemikiran yang salah dan mengalami kemunduran sejarah pada saat abad ke tujuh awal.

Bung Karno dalam pidatonya menyatakan bahwa musuh yang paling potensial adalah rakyat kita sendiri yang mabuk akan agama dan budaya asing. Maka dari itu, jikalau kalian jadi orang Moeslim jangan jadi orang Arab, kalau jadi orang Kristen jangan jadi orang Yahudi  dan kalau jadi orang Hindu dan Budha jangan jadi orang India, tapi tetap  jadilah orang Indonesia dengan adat istiadat dan kepercayaan sesuai nilai nilai luhur Bangsa ini.

Fenomena akhir-akhir ini yang sangat marak di dunia Maya, di media sosial adalah terjadinya doktrinisasi dari golongan tertentu, yang mengarah kepada pembenaran atas golongannya dan merendahkan serta mengganggap golongan lain atau pemeluk  agama lain dikatakan salah, yang selalu dikaitkan dengan keberadaan surga dan neraka serta kafir.

Mereka tidak paham dan tidak mengerti sejarah Bangsa ini, bagaimana latar belakang dibentuk dan berdirinya, serta sejarah sebelum kemerdekaan serta adat istiadat yang ada. Belum lagi terdiri dari berbagai suku Bangsa, ratusan bahasa  dan Ras yang dulu disebut Nusantara, menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebuah negara yang dibentuk bukan berdasarkan Negara Agama akan tetapi Negara Kesatuan yang melindungi seluruh umat beragama yang dianut oleh warga negaranya.

Apabila agama sudah dijadikan komoditas bisnis dan politis, maka yang bisa kita lihat, seperti saat ini, para pemuka agama, ustad selalu mengajarkan kehidupan surga lebih mulia dari dunia, yang berakibat umat tidak bisa mencapai kemajuan, justru kemunduran dalam berpikir, karena yang dikejar hanya Surga. Sedangkan di alam dunia merupakan alam Kawah Candra Dimuka untuk pengabdian sebagai hamba terhadap sesama dan alam semesta, yang akan diukur sampai seberapa besar rasa kemanusiaan kita.

Beragama tanpa rasa kemanusiaan maka merupakan kesia-siaan  dan yang ada hanya menTuhankan agama.Berakibat adanya pemahaman bahwa mereka yang paling benar, orang lain yang tidak sepaham salah dan kafir. Ini awal terjadinya malapetaka di muka bumi, baik bermasyarakat maupun dalam berbangsa dan bernegara.

Jalaludin Rumi dalam bukunya yang sangat terkenal yakni “Fihi Ma Fihi” menulis bahwa selamanya agama lebih dari satu, dua atau tiga bahkan lebih, selama agama dipolitisasi maka pertempuran dan peperangan selalu terjadi diantara mereka.

Bagaimana engkau mengharapkan agama menjadi satu?  AGAMA tidak akan menjadi satu kecuali di akhirat kelak pada hari kiamat  dan itu tidak mungkin terjadi di dunia. Sebab di sini di dunia ini setiap orang punya tujuan dan keinginan yang berbeda-beda dan penyatuan tidak mungkin terjadi. Hanya mungkin terjadi di hari kiamat dan Allah yang akan jadi hakimnya, yang mana pada saat itu seluruh manusia menjadi satu memandang kearah yang satu memiliki telinga dan lesan yang satu.

Panitia sembilan yang lebih dikenal dengan PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia), diketuai oleh Ir Soekarno, yang bersidang pada tanggal 22 Juni 1945 melahirkan suatu rumusan yang dikenal dengan Piagam Jakarta yang memberikan gambaran tentang maksud dan tujuan dasar negara saat Hindia Belanda (Indonesia)  merdeka, yang menyepakati salah satu sila dari Dasar Negara yakni Pancasila dengan kalimat “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”.

Tokoh tokoh Indonesia Timur saat itu yang diwakili oleh Johanes Latuharhary tidak setuju. Alasannya, negara ini dibentuk dan didirikan oleh berbagai golongan dan agama serta suku dan ras, tidak boleh dilakukan dominasi dalam dasar negara oleh salah satu agama  dan perwakilan dari Indonesia Timur saat mengancam itu akan keluar dan mendirikan negara sendiri.

Moh. Hatta melakukan rapat darurat dengan mengundang tokoh-tokoh dari panitia sembilan, yang pada akhirnya isi dari piagam Jakarta tersebut diganti dan menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” menjadi sila pertama dalam Dasar Negara Pancasila.

Tuhan yang Esa mempunyai makna yang sangat dalam, tidak hanya menerangkan kepada dunia dan masyarakat internasional serta seluruh warga negara, bahwa Tuhan itu satu dengan kekuasaan nya memberikan berbagai jalan untuk mengenal nya. Lewat ajaran-ajaran yang telah diberikan oleh dia, tapi juga mempunyai makna filosofis yang sangat luas dan dalam bahwa seluruh alam semesta beserta isinya dan mahluk yang ada dimuka bumi Ini hasil ciptaNya.

Merupakan perwujudan dari Tuhan yang Esa itu sendiri, yang terdiri dari berbagai etnis, suku, golongan, ras, dan keyakinan dengan segala perbedaannya. Itulah Aku, yang oleh Jalaludin Rumi disebut dengan tiga kata “Ana Al Haqq”.

Didalam Hindu ada yang disebut jalan Veda, yang mana diterangkan beda amat luas dan sangat terbatas yang sampai kepada manusia melalui Maha Rsi. Didalam Veda disebut Ananta vai Vedah yakni Veda tanpa akhir, yang secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa Veda diwahyukan kepada para Rsi. Dimana hukum tanpa awal dan tanpa akhir adalah Veda walaupun Kerajaan Tuhan tanpa awal dari waktu ke waktu, Ia mempunyai akhir sementara setelah itu muncul lagi dalam penciptaan.

Paramita dalam Hindu adalah Kaisar/Raja dan Veda adalah hukum-hukum tanpa awal dan tanpa akhir karena milik dia, Tuhan yang Esa. Sang Kaisar dan para kawulanya tidak mempunyai awal dari segi waktu, jika ada sebuah kerajaan dan ada Kaisar maka harus ada perangkat hukum yang mengatur, ketiganya tanpa awak dan tanpa akhir  itulah hukum Vega.

Demikian juga dalam Islam diatur melalui Kalam Allah/Wahyu Tuhan, yang disampaikan oleh malaikat Jibril kepada Muhammad, adalah perangkat hukum untuk mengatur dalam hubungan antara Kaisar dengan Kawulo nya dan Kawulo dengan kawulonya, agar terjadi keselarasan yang disebut Al Qur’an. Dalam Kristani disebut injil baik dalam perjanjian Baru maupun perjanjian lama yang disampaikan Kristus Isa Al-Masih kepada murid-murid nya yang lalu menjadi hukum bagi pemeluknya.

Bahkan Jalaludin Rumi, menulis dalam kitabnya saat ditanya oleh sahabat nya apakah ada cara lain untuk mendekatkan diri kita kepada Tuhan Allah yang Esa dibanding kan dengan Shalat ? Dijawab oleh Beliau , “ada” yakni “Shalat itu sendiri”. Tapi bukan semata-mata shalat yang hanya berdasarkan gerakan fisik sesuai aturan seremonial beribadah, dimana gerakan fisik hanya kemasan.

Shalat memiliki permulaan dan akhir semua yang memiliki permulaan dan akhir adalah kemasan. Takbir adalah permulaan shalat dan salam adalah akhir, begitu juga dengan kalimat syahadat, bukan hanya ucapan lesan. Syahadat memiliki permulaan dan  akhir bahkan mempunyai bentuk dan kemasan, sementara Ruh dari kalimat itu tidak dibatasi apapun dan tidak termaknai tidak memiliki permulaan dan akhir.

Jelas kata Rumi Ruh, shalat dan syahadat bukan bentuk lahiriah saja, Ruh shalat adalah tenggelamnya jiwa secara utuh dan ketidak hadiran tubuh, yang mana meninggalkan seluruh bentuk lahiriyah diluar Ruh tak tersisa ruang sedikitpun bahkan untuk para malaikat sekalipun.  Itulah esensi sholat, hubungan langsung antara Kawulo dengan Kaisar. Hingga beliau menulis “Sungguh kasihan orang yang sampai ke laut dan merasa puas hanya mendapatkan sedikit botol air, sementara didalam lautan itu sendiri ada ribuan mutiara dan benda benda berharga yang seharusnya bisa dikumpulkan”.

Hal ini sangat dalam filosofinya, apabila dikaitkan dengan fenomena jaman saat ini, banyak sekali orang yang hanya mendapatkan sebotol air dari lautan yang maha luas seakan tiada bertepi tapi seolah olah sudah melebur seluruh air dalam samudera raya hingga berani memvonis salah benar, kafir dan kedudukan surga neraka hanya bagi kaum dan golongan  tertentu.

Lalu  Ke mana semua sungai bermuara ? SEMUA SUNGAI (panjang atau pendek, luas/lebar) pada akhirnya  bermuara ke SAMUDERA. Jikalau kesadaran, pemahaman kita dan tingkat kerohanian kita  (siapapun dan memeluk agama apapun dia) sudah  pada pemahaman  Samudera (Nilai KeTuhanan), maka  niscaya tidak  akan lagi bicara “Sungai” Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha, dan sebagainya.

Dengan kata lain, kalau kita sudah bicara Samudera, maka kita tidak lagi akan bicara soal  “Sungai” karena semua agama tujuan dan muara  adalah  Samudra keimanan. Demikian juga  Sungainya  Kristen, Katholik, Hindu, dan Budha juga menuju dan  bermuara ke  samudera juga.

Faunding Fathers sudah menegaskan Negara Indonesia adalah “Nation State” dengan Dasar Negara Pancasila yang mengakui keberadaan semua agama dengan sila pertama yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Adalah manifestasi dari Samuderanya  Keilahian bagi semua agama-agama di dunia yang dianut oleh seluruh rakyat Indonesia yang homogen.

Seorang Tokoh Spiritualis dari Bali yang juga seorang Guru Besar yang sangat dihormati pernah menulis, terkait fenomena Radikalisme dan mengkafirkan pada sesama yang bukan golongan nya  ada kesesatan pola pikir (mindset) pemuka agama apapun dalam praktek yang berlangsung selama ini (yang sayangnya diikuti oleh umatnya dalam kehidupan beragama) dan diyakini sebagai sesuatu yg mutlak benar.

Memper -TUHAN – kan Agama dan bukan agama dijadikan sarana untuk  mendekatkan diri pada Tuhan, paling tidak mengenali dan mempraktekkan sifat – sifat utama Tuhan yang tampak dalam beragam wujud. Diantaranya: Kebaikan, Kebenaran, Kejujuran, Welas Asih, Cinta, Kasih Sayang dan lain sebagainya. Semuanya itu termanifestasikan pada nilai – nilai kemanusian dalam kehidupan bersama kita.

Mencari dan mengenal Tuhan itu, diawali pada diri sendiri dan pada diri sesama serta semua mahluk serta alam semesta, bukan pada kehidupan di akherat nanti (surga dan neraka). Agama dan semua tempat persembahyangan agama apapun adalah “LINGGA” (wadah/tempat atau benda) mati, sedangkan LINGGA Hidup (Tuhan itu sendiri) yang disebut LINGGAM, ada pada diri sesama dan mahluk hidup lainnya di alam semesta ini.

Disitulah Tuhan itu bersemayam pada diri setiap manusia adalah “Buana Alit”, sedangkan alam semesta beserta segala isinya adalah “Buana Agung”. Baik pada Buana Alit maupun pada Buana Agung, Tuhan itu ada di dalamnya. Artinya tiada ruang kosong yang tidak berisi atau tanpa kehadiran Tuhan di dalamnya, itulah sebabnya Tuhan dikatakan ada di mana – mana.

Ketika kita berpikir baik, bertutur kata baik, dan bertingkah laku baik, melakukan perbuatan baik dengan sesama manusia, tidak berkata kasar, tidak menyakiti sesama, tidak mengumbar kebencian, tidak mencaci maki, tidak mengkafir – kafirkan orang lain, tidak menista, merendahkan orang lain dan lain sebagainya, maka disitulah  seungguhnya kita sudah menjalankan salah satu

sifat Utama Tuhan. Ketika kita welas asih, menebarkan cinta kasih, berbagi/mengulurkan tangan membantu penderitaan sesama yang tengah sakit, yang dirundung nestapa, yang hidupnya sangat memprihatikan dan lain sebagainya, disitulah Linggam Tuhan bersemayam.

Jadi bukan berteriak dengan lantang sembari menyebut nama  Tuhan,   mengumbar sumpah serapah, teriak Jihad dengan tega membunuh sesama lewat tindakan radikakisme  dan perilaku menyimpang lainnya yang sangat jauh dari sifat sifat utama Tuhan yang bersifat Kasih Sayang.

Alangkah indahnya apabila kita kembali kepada ajaran luhur seperti yang dikatakan Bung Karno, jadilah orang yang beragama, apapun agamamu dengan adat istiadat dan cara orang Nusantara. Den ajembar, den momot, Lawan Den Wengku, Den Koyo Segoro .

Filosofi ilmu padi, semakin dalam dan berisi maka akan semakin merunduk karena batangnya tidak lagi mampu untuk menopang buahnya yang telah matang tadi.  Mari menjadikan diri kita sebagai Kawulo dari sang  Kaisar Tuhan yang Esa, yang perwujudanNya sesungguhnya adalah seluruh alam semesta ini beserta isinya, mahluknya dan beserta Kalam-kalam hukumnya yang telah ditabur kan kepada wakil-wakilnya.

Bukan hanya satu, dua, tiga tapi beragam. Itulah esensi dari manusia yang memang diciptakan untuk bagaimana bisa mempunyai rasa kemanusiaan untuk diabdikan pada seluruh umat dan alam semesta, berbuat baik kepada sesama dan berbuat baik kepada semesta alam****

Penulis adalah Praktisi hukum dan pemerhati sosial budaya, politik dan hukum,  tinggal di Jakarta

Berita Terkait