Restorasi Meiji, Pembelajaran Sejarah Bagi Bangsa Untuk  Indonesia Emas

by Nano Bethan
63 views
Opini

Oleh: Agus Widjajanto*

TABLOIDDICTUM – Restorasi Meiji, yang berlangsung selama tiga tahun di Jepang, menandakan jatuhnya Ke Shogunan Tokugawa, menjadi awal kebangkitan Bangsa Jepang. Terjadi perubahan besar-besaran dalam kehidupan masyarakat jepang saat itu baik dalam hal pendidikan, ekonomi dan sistem militer.

Pada tahun 1868, Shogun Tokugawa (Jendral Agung) yang memerintah jepang secara feodal telah kehilangan kekuasaannya setelah dikembalikan kepada Kaisar dengan mengambil nama Pemerintahan Meiji,  yang artinya pemerintahan yang tercerahkan. Dalam sejarah Jepang dikenal dengan Nana Restorasi Meiji. Setelah terjadi peralihan kekuasaan yang terpusat di Kaisar sebagai penguasa tertinggi Jepang, melakukan restorasi besar besaran.

Sistem pendidikan yang masih feodal  diubah dengan kebijakan sekolah gratis, ditanggung negara dengan mengirim para pemuda-pemuda jepang ke Eropa untuk belajar dan menguasai teknologi dan dunia keuangan, perbankan, strategi militer.

Peristiwa yang mengilhami terjadinya Restorasi Meiji adalah adanya kebangkitan kekuatan militer Eropa dengan teknologi canggih, yang ditakutkan akan menjajah jepang saat itu. Timbul kesadaran untuk bersatu, yang awalnya terpecah-pecah melalui beberapa klan. Restorasi Meiji dimotori oleh Ito Hirobumi, Matsukata Masayoshi, Kido Takayosi, Utagaki Taisuke, Yamagata aritomo, mori Arinori  dan Yamaguchi Naoyosi.

Restorasi Meiji fokus pada modernisasi pemerintahan dibawah Kaisar, yang bersifat damai, pemimpin yang berkesinambungan, pemerintahan yang terpusat dan upaya modernisasi yang cepat. Alaannya, saat itu jepang selama berates-ratus tahun mengalami konflik berdarah, terjadi persaingan klan dengan latar belakang kekuasaan didaerah menggunakan para samurai untuk konflik berdarah. Jepang mengalami kemunduran budaya dan tertinggal jauh secara teknologi militer  dengan Negara Eropa pasca datangnya, yang disebut Kapal Hitam (Komodor Matthew Perry tahun 1853)  yang berlabuh di Jepang.

Atas kesadaran para tokoh-tokoh klan di Jepang dan rasa ketakutan terjadinya penjajahan  serta ingin melakukan modernisasi militer dimana hanya dengan jalan,  bersatu dengan sistem yang terpusat, hal itu baru bisa dilakukan. Dampak dari Restorasi Meiji di Jepang secara langsung juga berdampak pada Tiongkok dan Korea saat itu dalam arti positif, dengan  mengirimkan para pemudanya keluar negeri untuk belajar  dan hasilnya bisa kita lihat saat ini.

Di Indonesia sendiri saat itu pada tahun 1868 dan 1889, terjadi tanam paksa, karena Pemerintahan Hindia Belanda mengalami kekosongan kas negara akibat perang Jawa pada tahun 1825 hingga 1830 Masehi, yang menimbulkan korban jiwa dan kesengsaraan rakyat yang luar biasa besar.

Baru pada tahun 1901 hingga tahun 1942 salah satu tokoh politik anggota parlemen Belanda, Van Deventer, mengusulkan Politik Balas Budi terhadap kaum pribumi sebagai kasta terendah yang menurut Hindia  Belanda saat itu, untuk memperbaiki irigasi, memberikan lapangan kerja dan memberikan Pendidikan. Tetapi prakteknya kesempatan bersekolah hanya diberikan kepada anak anak dari para Bupati, Residen dan anggota kerajaan di Jawa. Inilah menjadi cikal bakal berdirinya Boedi Oetomo tahun 1908, gerakan sumpah pemuda tahun 1928 dan mencapai klimaks adanya revolusi dan proklamasi berdirinya sebuah bangsa pada tanggal 17 Agustus 1945.

Kondisi Paling teraktual saat ini, dimana sistem pendidikan yang tidak ada blue print tentang standar tata cara mengajar para siswa untuk bisa mempertahankan adat istiadat, budaya dan karakter kebangsaan yang tetap cinta akan tanah air yang merupakan bagian dari iman.  Namun, mahalnya untuk bersekolah bagi masyarakat untuk menuntut ilmu, baik dari tingkat dasar, Menengah sampai Perguruan tinggi, sangat berat untuk dijangkau oleh masyarakat kecil dan menengah. Alhasil, generasi muda telah kehilangan jati dirinya sebagai anak Bangsa yang berhati KeIndonesiaan.

Semangat Restorasi Meiji, sangat patut dijadikan panutan dan ide untuk Indonesia, melakukan Restorasi dengan nafas dan tata cara ala Indonesia, baik dalam sistem ekonomi, sistem politik dan  sistem hukum, khususnya  dalam penegakan hukum, untuk mencapai keadilan seperti yang dicita-citakan oleh kontitusi kita dalam Pembukaan UUD 1945, serta cita-cita dari para Pendiri Bangsa (Founding Father’s) kita.

Mari kita bertanya pada diri sendiri dari lubuk hati paling dalam, apakah memang sudah sesuai sistem politik yang kita anut, apakah sudah sesuai sistem ekonomi saat ini yang telah berjalan dan apakah sudah berkeadilan pada penegakan hukum di Indonesia baik dari sisi Sistem Hukum maupun dari sisi Aparat Penegak Hukum?

Secara teoritis, kita memang telah mengalami perubahan dalam kontitusi tertulis, yakni UUD 1945. Sejak kita merdeka dan disahkan UUD 1945 pertama saat terjadi perubahan dari UUD 1945 ke UUD RIS (Republik Indonesia Serikat). Kemudian dari UUD RIS kembali ke UUD 1945 sesuai Dekrit Presiden 5 juli 1959 dan saat Orde Reformasi dimana UUD 1945  diamandemen sampai empat kali (Prof. Dr. Satya Arinanto).

Demikian juga dalam sistem pemerintahan kita dari awal saat dibentuk, para Founding Father kita mendesain sistem pemerintahan dengan sistem Presidensial, bukan sistem Parlementer, dimana saat itu memang dalam pembentukan sebagai negara yang baru berdiri  berkiblat pada sistem Pemerintahan di Amerika Serikat dan praktek di Eropa Barat.

Sejarah mencatat bahwa saat Orde Reformasi  UUD 1945 sudah mengalami perubahan melalui proses amandemen sebanyak empat kali. Menurut para elit politik saat itu bertujuan untuk menyempurnakan aturan-aturan Dasar Negara seperti tatanan negara, kedaulatan rakyat, hak asasi manusia, pembagian kekuasaan, eksistensi negara demokrasi dan negara hukum  yang harus sesuai dengan sebuah Negara Demokrasi modern ala Eropa dan Amerika Serikat.

Para elit politik lupa bahwa sejak Indonesia didirikan oleh para bapak pendiri bangsa  walaupun ide terbentuknya sistem Presidential adalah meniru dari sistem Presidential Amerika Serikat saat itu, sistem ketatanegaraan tetap berdasar pada nilai-nilai luhur sesuai adat dan tata kehidupan Bangsa Indonesia. Oleh Mr. Soepomo dibentuk seperti sebuah pemerintahan desa adat dalam lingkup Nasional/Negara, yang dalam mengambil keputusan berdasarkan musyawarah mufakat.

Saat itu dibentuklah oleh Panitia Sembilan dalam PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang diketuai oleh Ir. Soekarno. Sebagai syarat adanya sebuah negara setelah diproklamirkan Merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, yakni adanya suatu wilayah, saat itu jelas bekas jajahan Hindia Belanda, adanya penduduk, saat itu berjumlah hampir 35 juta rakyat  dan adanya Dasar Negara dan Hukum Dasar (kontitusi tertulis) untuk mengatur tata kehidupan dalam bernegara.

Dasar Negara dengan Hukum Dasar, baik Preambule maupun isi harus sejalan dengan Dasar Negara yang merupakan Dwi Tunggal (Dua tapi sejatinya satu yang tidak bisa dipisahkan).

Sesuai pendapat dari Prof. Satya, dimulainya sistem Presidensial tidak lagi murni, sudah terjadi semi sistem Parlementer pada saat Pemerintahan Presiden Abdul Rachman Wahid (Gus Dur) dengan membangun kekuatan politik dengan sistem 4 kaki yakni menggandeng 4 kekuatan partai politik.

Menurut penulis, ini sebenarnya awal terjadinya pergeseran peran dari Legislatif yang mulai mencengkeram sistem pemerintahan, dimana telah terjadi politik transaksional lewat suara suara di DPR  dalam menggolkan kebijakan. Terlebih dalam pembentukan Undang-undang, pemerintah yakni Eksekutif harus mendapat persetujuan dari DPR. Ini saling sandera, saling kunci kekuatan politik, yang berakibat pemerintahan harus melakukan koalisi dengan menggandeng partai-partai politik, hingga berdirilah banyak partai politik yang jumlahnya mencapai 20-an.

Dulu pernah terjadi saat pemerintahan Orde Lama dengan 100 Partai dan saat awal pemerintahan Orde Baru, dalam pemilihan umum 1971, puluhan partai di lebur dalam tiga Partai Politik. Ketika dalam Orde Lama bernama NASAKOM (Nasionalis, Agama, Komunis), saat Orde Baru Menjadi Nasionalis, Agama dan Golongan Karya.

Kembali  ke format  Judul tulisan diatas, apakah bisa dirubah Sistem Pemerintahan Sesuai UUD 1945?  Menurut penulis sistem pemerintahan yang paling ideal dan sudah terbukti dalam stabilitas politik dan terjaminnya keamanan dan pembangunan adalah sistem Pemerintahan Presidensial yang memang sejak awal diciptakan dan didesain oleh para Founding Father kita.

Hanya saja persoalannya bagaimana untuk memenuhi tuntutan jaman sesuai perkataan Mas Bambang Soesatyo, apakah perlu dilakukan amandemen? penulis berpendapat, sepanjang tidak mengubah dan menghilangkan pasal-pasal Soko Guru (Pondasi tiang utama) dari terbentuknya negara. Sesuai jaman dan Geo Politik dan strategis kedepan bisa dilakukan perubahan  dan penambahan, sebagaimana Kontitusi Amerika Serikat. Apa saja Pasal Soko Guru dari UUD 1945 tersebut:

  1. Kedudukan sebuah Lembaga Tertinggi sebagai manifestasi dari sebuah perwakilan Rakyat yakni ( MPR )
  2. Pasal Presiden harus orang Indonesia asli.
  3. Pembukaan UUD 1945
  4. Pasal 1 ayat 1 dari UUD 1945.

Konsesus  dari pasal-pasal diatas adalah Soko Guru atau pondasi dari Tiang Utama berdirinya negara. Ini bisa dilihat dari Sila ke-empat dari Pancasila (Sebagai hukum Dasar) “Kerakyatan yang dipimpin Oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan perwalian”. Sila ini konekting dengan pasal 1 ayat (2) dari UUD 1945 yang berbunyi  “Kedaulatan adalah ditangan rakyat, dan sepenuhnya dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat ( MPR ).

Oleh karena terlalu dipengaruhi semangat meniru atau terbius oleh Euforia  untuk melakukan Reformasi dan mengakhiri kekuasaan Dari Orde Baru saat itu yang dianggap KKN dengan memanfaatkan situasi terjadinya Resesi Ekonomi, atas permainan negara Adi Daya dan Eropa untuk menguasai dan mengendalikan ekonomi negara dunia  ketiga.

Para elit politik lupa  bahwa antara Pancasila dan UUD 1945 tidak bisa dipisahkan dan merupakan satu kesatuan (Dwi Tunggal) maka dengan melakukan amandemen UUD 1945,  hingga empat kali, akan tetapi tidak merubah bunyi dari Dasar Negara Pancasila. Seperti yang kita lihat dan rasakan saat ini terjadi kepincangan dalam sistem Ketatanegaraan kita sejak Reformasi bergulir hingga saat ini.

Untuk itu yang  paling utama dan paling  krusial  yang harus diambil keputusan segera dalam membangun kembali ketatanegaraan negara kita  adalah segera melakukan Amandemen Terbatas yang kelima untuk mengembalikan Marwah dan ruh Keindonesiaan, baik terhadap UUD 1945 maupun Pancasila sebagai sumber dari segala sumber  Hukum. Ada beberapa pasal krusial yang sepatutnya dikembalikan pada kedudukan sesuai Format dari UUD 1945 yang lama adalah sebagai berikut :

  1. Kembalikan lagi rumusan Pasal 1 ayat (2) lama “Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”.
  2. ⁠Kembalikan lagi rumusan pasal (yang lama) tentang MPR dengan kewengannya.
  3. ⁠Bubarkan DPD (karena dalam pasal lama tentang MPR sudah disebut “Utusan Daerah”). Dengan demikian, UUD 1945 menganut Sistem Perwakilan Unicameral (Satu  badan perwakilan yang disebut dengan MPR).
  1. ⁠Bangun sistem kepartaian Dwi Partai (Be Party System) yang digolongkan dalam partai Nasionalis dan Partai Agama, semua partai-partai politik melakukan fusi melebur sesuai dengan latar belakang AD/ART dari partai.
  2. ⁠Bangun Sistem Pemilu dengan Sistem Distrik
  3. Kembalikan aturan presiden harus orang Indonesia asli, dimana kita harus belajar dari latar belakang emosional dari para pendiri bangsa, bahwa saat pemerintahan Hindia Belanda masyarakat dibagi dalam kasta-kasta dan justru Orang Asli Indonesia, disebut Bumi Putera

7  ⁠Pertegas kembali Sistem Pemerintahan Presidensil dengan mengembalikan lagi kewenangan Presiden yang di koptasi oleh DPR, seperti original power pembentukan Undang Undang kekuasaan ada pada  Presiden dan DPR hanya menyetujui atau menolak. Hak prerogatif Presiden dalam pengangkatan Pejabat setingkat menteri seperti, Kapolri, Jaksa Agung, dan Pimpinan Lembaga non Kementerian.  Rekruitmen Hakim Agung, Komisi Yudisial, Anggota BPK dan lainnya tidak lagi melibatkan DPR melalui mekanisme ‘fit n proper test’.

Hal itu sangat urgen untuk dilakukan dan sangat  penting serta  mendesak oleh pemerintahan yang baru  dengan tujuan : Mewujudkan stabilitas pemerintahan, Menjamin kelangsungan Demokrasi Pancasila, Menjaga keutuhan Bangsa dan NKRI, Mengurangi beban negara buat cost partai politik yang justru menimbulkan kegaduhan serta Mencegah praktek-praktek korupsi dengan transaksional para partai politik dengan pejabat publik.

Sementara itu, Guru Besar Hukum Tata Negara paling Senior dari Universitas Padjadjaran Bandung , Prof. Dr. I Gde Pantja Astawa, menyatakan kepada penulis bahwa Presiden Soekarno punya obsesi untuk  mengelompokkan dua kelompok masyarakat secara sosiologis, yaitu Nasionalis dan Agama (Islam, khususnya).

Hanya memang saat itu Partai Komunis Indonesia ( PKI ) sudah eksis dan punya basis massa yang kuat dan besar, Petani dan Kaum buruh. Jadilah kemudian  tiga kekuatan besar itu disatukan menjadi yang dikenal dengan NASAKOM untuk  menunjukkan kepada dunia internasional bahwa Presiden Soekarno ditopang oleh 3 ( tiga ) kekuatan besar itu.

Hanya sayangnya, Presiden  Soekarno tidak mudah memainkan irama politik  agar ada harmonisasi di antara tiga  kekuatan besar itu, jadilah sejarah berkata dan berkehendak lain. Kini, komunis sudah dead (Tamat bahkan  diseluruh dunia), tinggal dua kekuatan besar yang masih eksis, mengapa dan kenapa  mereka tidak mengorganisasikan dirinya menjadi dua  Partai besar sesuai dengan idiologinya dengan menegaskan asasnya adalah Asas Pancasila.

Perlu dipikirkan yang diatur dalam Konvensi Ketatanegaraan agar pemilihan langsung Presiden oleh rakyat mengingat cost yang begitu tinggi dikembalikan lagi pemilihan kepada Partai Politik, dimana Partai Politik pemenang itulah yang berhak mengajukan Calon Presiden terpilih, dan MPR sebagai mandataris Presiden tinggal ketok palu mengesahkan.  Demikian pendapat Guru Besar Universitas Padjajaran Bandung asal Bali ini.

Sementara itu, atas permintaan dan masukan berbagai pihak agar mengembalikan UUD 1945 secara murni dan konsekuen secara total, sangat sulit dilakukan setelah bergulir sekian puluh tahun dan harus menyesuaikan kondisi Geo Politik Dunia dalam Penghormatan Hak asasi Manusia, yang mana sudah banyak sekali lembaga baru seperti Mahkamah Kontitusi, maka yang paling rasional yang paling terbaik dilakukan adalah dengan Amandemen Terbatas.

Amandemen kelima terhadap UUD 1945, agar bisa konek dan singkron dengan sila-sila dari Pancasila, khususnya Sila ke-empat  menyangkut sistem bagaimana  aturan  kerakyatan dalam diwakili sebuah lembaga  perwakilan yang punya kekuasaan sebagai lembaga paling tinggi, merupakan manifestasi dari suara rakyat.

Dalam bidang hukum, khususnya dalam penegakan hukum, masyarakat pencari keadilan harus menebus sangat mahal untuk mendapatkan keadilan, dimana hukum sudah dijadikan lahan bisnis yang berorientasi pada hukum dagang, dan menurut  berbagai pihak, Indonesia sedang mengalami darurat dalam penegakan hukum.

Penulis ingat apa yang pernah dikatakan Prof. Dr.  I Gde Pantja Astawa, untuk mengatasi mafia peradilan yang sangat sulit untuk diberantas dan telah membelenggu para penegak hukum sendiri, mengapa dan tidak ada salahnya dicoba sistem Anglow Saxon dengan sistem juri sebagaimana dipraktekkan oleh negara-negara yang menganut sistem hukum Anglo Saxon.

Dengan menggunakan praktek sistem yang disebut sebagai Transplantasi Hukum (Law Transplant) maka suatu tatanan atau sistem hukum dari suatu negara dapat diadopsi oleh negara lain. Secara sederhana tranplantasi hukum diartikan sebagai sebuah proses tranfer atau peminjaman konsep hukum antar sistem hukum yang ada.

Contohnya, Indonesia yang menganut sistem Eropa Contonental  menggunakan sistem Juri dari sistem Anglo Saxon.  Dasar tranplantasi hukum maka sistem juri dapat dan bisa diterapkan di Indonesia. Dengan sistem juri, hakim hanya bersifat pasif memimpin sidang  karena yang memutuskan perkara adalah para Juri (Nota bene bisa berlatar belakang hukum, bisa juga berlatar belakang non hukum) yang dipilih oleh negara dengan cara acak, karena yang diutamakan adalah dari sisi keadilan sebagai “RASA” yang dipandang mewakili perasaan keadilan masyarakat.

Dengan sistem Juri maka peluang terjadinya mafia hukum/peradilan dan tindakan kesewenangan hakim dalam memutus perkara atas nama kemandirian/kemerdekaan atau imparsial sejauh mungkin bisa dicegah atau setidaknya ditutup. Hal ini merupakan pandangan hukum progresif, demi tegaknya hukum itu sendiri di negeri ini, yang didambakan oleh setiap insan Anak Bangsa biar hukum sebagai Panglima bisa diwujudkan.

*Penulis, Praktisi Hukum di Jakarta,  Pemerhati Sosial Budaya, Politik, Hukum dan Sejarah Bangsanya

Berita Terkait