Oleh: Agus Widjajanto*
DICTUM.COM – Quantum Entanglemen secara harfiah adalah sebagai hubungan yang rumit antara dua atau lebih partikel. Albert Einstein menyebutnya dalam hukum fisika sebagai “Spooky Action at a Distance” yang diperjelas ilmuwan Scrodinger dengan istilah keterbelitan. Bagi orang awam, arti yang paling sederhana keterikatan quantum berarti, aspek satu partikel dari pasangan tergantung dari aspek partikel lainnya. Tidak perduli berapa jauhnya jarak atau apapun yang ada diantara kedua partikelnya.
Lebih jelasnya, segala sesuatu di alam semesta ini adalah terhubung dan partikel sejauh manapun jarak dan waktunya dan saling mempengaruhi antara satu dengan yang lain. Fenomena alam yang saling terhubung ini, selalu menuntut terjadi nya energi positif agar tidak terjadi benturan dan gesekan yang berakibat aura alam berpengaruh pada lingkungan dimana kita bertempat tinggal.
Alam pikiran dan pola pikir setiap makhluk pun saling terhubung dan dapat menimbulkan energi positif yang bisa mempengaruhi kestabilan dan ketenangan lingkungan, orang Jawa bilang Memayu Hayuning Bawono (Membangun keselarasan dunia/alam semesta) atau yang disebut Hukum Alam (Sunatullah).
Baca juga: Refleksi Akhir Tahun 2024, Penegakan Hukum di Indonesia
Demikian Juga semesta tidak merespon apa yang kamu inginkan, akan tetapi merespon energi yang kamu gunakan. Jika seseorang memancarkan rasa takut, bersalah atau malu, maka akan menarik lebih banyak hal yang sama dilingkungannya. Namun jika memancarkan energi yang selaras dengan rasa cinta, kegembiraan maka lingkungan juga akan mendapatkan vibrasi yang sama.
Seperti halnya memilih stasiun radio atau televisi yang harus berada pada frekwensi yang sama dan tepat, demikian juga kehidupan di alam semesta ini yang pada dasarnya tidak menyukai pancaran energi negatif, penuh dengan hal yang tidak baik, buruk dan jahat.
Itulah mengapa semua agama selalu mengajarkan diri kita untuk berbuat kebaikan. Maksudnya agar ada koneksitas keselarasan dengan hukum alam itu sendiri, dimana awal mula terjadinya alam semesta ini bermula dari satu partikel lalu berputar berkembang menjelma menjadi ratusan partikel, sampai milyaran partikel. Semuanya terbentuk dari cahaya sehingga Nikola Tesla menyatakan semua hal adalah cahaya dalam satu bentuk atau lainnya.
Energi yang mengisi alam semesta adalah cahaya, dan diri kita sebelum ditiupkan pada rahim ibu, kita adalah sebersit cahaya. Nanti, setelah kita berpulang, cahaya kita akan menyatu menuju cahaya besar yang di gambarkan oleh para Wali Sembilan pada abad ke-14, dulu jagad cilik (Diri kita) menuju jagad gede (Tuhan yang Esa) sebagai penguasa alam semesta.
Baca juga: Sejarah Mencatat, Thomas Stanford Raffles Membentuk Resident Court dalam Sistem Juri di Pemerintahan Hindia Belanda
Dengan kondisi fenomena saat ini, dimana telah terjadi degradasi moral bangsa, yang mentuhankan harta dan tahta dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Menimbulkan ketidak pastian dalam penegakan hukum, tentu energi yang dihasilkan sangat tidak nyaman. Terjadi benturan di alam semesta yang secara hukum alam, menginginkan terjadinya keserasian dengan sifat-sifat yang menjurus pada energi positif, penuh dengan kasih sayang, kebajikan dan keadilan.
Akibat ketidak nyamanan dalam aura dari energi yang ditimbulkan dalam lingkungan bermasyarakat berbangsa dan bernegara berakibat berantai, terjadinya gejolak alam, baik petir, banjir, gunung meletus, kecelakaan di laut, darat maupun di udara. Ini merupakan konsekuensi logis dari pada energi negatif yang telah dihasilkan oleh para anak bangsa.
Pemimpin spiritual Tibet, Dalai Lama menyatakan bahwa yang paling membingungkan di dunia ini adalah “Manusia”. Manusia berani mengorbankan kesehatannya demi uang. Bekerja keras untuk menghasilkan uang yang dianggap sesuatu hal yang paling penting untuk memenuhi kebutuhan hidup, setelah sakit manusia mengorbankan uang nya yang telah di cari siang malam demi kesehatannya.
Manusia selalu dihinggapi rasa kuatir dengan masa depannya nanti sehingga mereka tidak menikmati masa kini, pada akhirnya mereka tidak hidup di masa depan atau masa kini. Ini karena merasa bahwa hidup seakan-akan tidak akan mati, hingga pada akhirnya mati, mereka tidak bisa menikmati hidup yang mereka jalani, memaknai apa sebenarnya hidup.
Baca juga: Restorasi Meiji, Pembelajaran Sejarah Bagi Bangsa Untuk Indonesia Emas
Manusia yang paling bisa menikmati hidup dan bahagia adalah mereka yang bisa melupakan masa lalu dan menikmati hidup masa kini. Tidak pernah merasa kuatir atas masa yang akan datang dengan meletakkan Surga pada dirinya dalam kehidupannya, baik bersama keluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Itulah sebenarnya hidup.
Fenomena yang terjadi saat ini, selalu dilakukan doktrin, bagaimana kehidupan yang akan datang lebih mulia, yakni mendambakan surga setelah kita tiada. Berakibat kebanyakan dari saudara-saudara kita tidak lagi menganggap penting untuk kehidupan saat ini di dunia.
Berimplikasi secara berantai, masyarakat kita tidak bisa bersaing di mata international karena doktrin yang didapat selalu diajarkan untuk mencapai alam surga setelah kita meninggal nanti. Bukannya diajarkan dan diberikan suatu pemahaman bagaimana meletakan ‘Surga’ pada diri kita masing-masing pada kehidupan di dunia agar diri kita bisa memberikan energi positif penuh dengan sifat kemanusiaan yang penuh welas asih terhadap sesama, saling berbagi.
Secara otomatis bisa menciptakan keselarasan dunia yang penuh damai (Memayu Hayuning Bawono). Hal ini berkaitan sekali dengan hukum alam, yang mana dalam Islam, hukum alam atau Sunatullah yang telah ditetapkan oleh Allah untuk mengatur penciptaan dan mekanisme alam semesta.
Baca juga: Falsafah Kepemimpinan Jawa dalam Perspektif Kepemimpinan Indonesia ke Depan
Hukum alam bersifat fitrah, yakni tetap dan otomatis, selalu menuntut terjadinya keseimbangan dalam hukum yang dihasilkan dari energi positif. Agar tidak terjadi benturan dengan energi negatif, yang dalam beberapa agama dikenal adanya Hukum Karma.
Sesungguhnya diri kitalah yang terhukum atas segala kelakuan dan tindakan kita, yang bertabrakan dengan energi alam. Dimana hal ini selalu ditafsirkan bahwa diri kita dihukum oleh Tuhan padahal sifat Esa dan Kasih selalu melekat pada setiap mahluk dan hambanya yang jauh dari sifat menghukum itu sendiri. Sunatullah berlaku bagi seluruh mahluk di alam semesta baik manusia, hewan, tumbuhan gunung, laut tana , udara atau langit beserta seluruh isinya.
Memahami Sunatullah atau hukum alam, sangat penting karena dapat membantu kita memahami keteraturan dan ketertiban di alam semesta. Penerapan Sunatullah dalam kehidupan sehari hari dapat dimulai dari menjaga lingkungan hidup, selalu berbuat baik.
Namun karena manusia memang dilahirkan dengan sifat kedagingan yang penuh kompleksitas, maka kadang selalu terjadi benturan dalam hukum alam. Oleh sebab itu, Yang Kuasa mengutus para Rosul dan Nabi, menurunkan firmanNya/ajaran sesuai agama dari waktu kewaktu, agar pada manusia bisa mengenal dirinya dan memahami alam semesta, untuk mencapai keselarasan.
Baca juga: Menggugat Paradigma Belanda Menjajah Indonesia 350 Tahun
Kebenaran justru muncul karena bersifat kritis atas situasi dan kondisi dalam masyarakat dengan melawan pendapat umum. Jika kita menilik sejarah masa lalu para Nabi, awalnya justru selalu melawan pendapat umum saat itu, ajaran para Nabi yang dibawa ke masyarakat tidak diterima begitu saja malah kadang bertabrakan dengan Vox Populi.
Akan tetapi, sesuai perkembangan waktu, agama bisa diterima menjadi kebenaran umum. Justru saat ini fenomenanya cenderung anti kritik dan menghukum orang-orang yang bersebrangan dengan tuduhan penodaan dan penistaan atas nama agama.
Bagi orang beriman, tanpa pembuktian lebih lanjut, harus percaya bahwa setelah kehidupan ini ada kehidupan lain di alam astral. Lahirnya teori hukum alam dalam ilmu filsafat yang menyatakan bahwa manusia memiliki nilai-nilai moral, tanggung jawab dan hak-hak tertentu yang telah melekat sejak lahir pada sifat manusia.
Maka pencarian akan kebenaran yang hakiki dan pengenalan atas diri, selalu berlangsung sejak ribuan tahun sebelum Masehi hingga saat ini, dikarenakan sifat manusia disamping sebagai mahluk bermoral juga berbudi pikir yang dikaruniai pikiran kecerdasan. Pencarian kebenaran atas sesuatu tetap akan berlangsung sesuai hukum alam***
*Penulis adalah Pemerhati sosial budaya, tinggal di Jakarta