Peperangan di Padang Kurusetra dalam Epos Mahabharata dan Relevansi dari Kehidupan Berbangsa dan Bernegara

by Nano Bethan
28 views
Opini

Oleh: Agus Widjajanto*

Tabloid Dictum.com – Dalam kisah epos Perang Bharatayudha, perang saudara antara keluarga Astina dan Kurawa. Astina dengan Pandawa Lima-nya, melakukan peperangan terakhir di Padang Kurusetra. Dalam wiracerita kisah Mahabaratha ini,  digambarkan sebagai sebuah padang yang sangat luas, sebagai penentu jalannya peperangan, antara Astina yang digambarkan sebagai pihak yang menjunjung kebenaran dengan Kurawa yang digambarkan sebagai  pihak yang berprilaku jahat dan keangkara murkaan.

Epos ini ditulis sedemikian hebatnya yang merupakan penuntunan bagi umat manusia disegala jaman dan waktu, bahwa selalu akan terjadi pertarungan antara yang baik dan hak dengan yang batil dan jahat, disetiap dimensi kehidupan. Bahwa peperangan paling dahsyat selalu terjadi pada diri dan  rohani kita yang terkurung pada jasad badan kasar yang bersifat kedagingan.

Terjadi tarik menarik antara amarah hawa nafsu dengan energi Ruh kebaikan antara warna hijau dan biru dengan warna merah, antara hitam dengan putih, antara kesadaran dengan ketidak sadaran. Antara ambisi dengan berjalan sesuai arah angin dan mengalirnya aliran sungai, sesuai hukum alam dalam sebuah kodrat dan akan selalu begitu disetiap jaman.

Baca juga: Inter Independensi, Saling Ketergantungan secara sosial

Dalam sesi puncak peperangan di Padang Kurusetra, sang Maha Raja Krisna bersenjata trisula Weda, menjadi kusir kereta kencana yang dinaiki Arjuna, sebagai lambang bahwa sang Maha Raja sebagai pengendali, pemimpin dan  Panetep Panoto Agomo ( Sultan sang Raja dari pimpinan  agama diselutuh negeri). Menghantarkan para kesatria negara untuk membela kebenaran dan hak melawan ketidakadilan yang bersifat batil pada semua lini kehidupan, jaman dan masa dimana manusia masih ada di muka bumi.

Di dalam Kitab Bhagavad Gita ditulis Krisna dan Arjuna berbincang tentang hakekat realitas dan cara mengakses keselamatan dan kesatuan dengan Ilahi (Tuhan yang Esa) atau Brahma dalam agama Hindu. Dalam percakapan tersebut sang Maha Raja Krisna menjelaskan kepada Arjuna bahwa keselamatan dapat diperoleh melalui pengetahuan rohani  dan tindakan nyata dalam kehidupan atau Amaliah dalam Islam.

Dogma syariat adalah petunjuk, seremonial ibadah adalah tata cara bagaimana dalam mencapai yoga (ketenangan) dan Mu’ Amalah atau laku kita dalam hidup didalam keluarga dan  masyarakat. Sebagai puncak dari ibadah yang merupakan realitas dalam kehidupan mengapa kita dilahirkan didunia dan untuk apa setelah lahir dan hidup didunia. Setelah itu kita kemana dan  bagaimana jalannya,  itu adalah sebuah proses perjalanan spiritualisme dalam mencapai dharma dalam hidup.

Baca juga: Teori Quantum Entanglemen  dan  Interkoneksi dalam Hukum Alam  

Ukuran dari pada semua itu adalah bagaimana diri kita bisa memperlakukan sesama dan alam semesta ini secara manusiawi, dengan cinta kasih dan sayang yang telah terpatri pada diri kita dan setiap orang – orang yang beriman. Itu sesungguh nya dialog dipadang Kurusetra antara Krisna dan Arjuna yang membabat ilmu hakekat untuk mencapai jalan tertinggi dalam kerohanian.

Petunjuk dalam Bhagavad Gita dirancang untuk membangkitkan kesadaran murni pada diri manusia. Oleh sebab itu pada bagian akhir dari dialog,  Krisna bertanya pada Arjuna apakah sekarang Arjuna telah dalam kesadaran murni? Kesadaran murni yang dimaksud disini adalah berada dalam kondisi keadaan bermeditasi untuk mencapai ketenangan jiwa, mengendalikan pikiran dan tubuh.

Dalam tasawuf Jawa disebut Suwung atau kosong mengalami kekosongan, tiada diri lagi yang ada adalah Brahma yang bersemayam ditubuh adalah bukan dia, yang menggerakkan adalah bukan dia, tapi seluruh gerakan alam ini digerakan oleh Yang Kuasa.

Baga juga: Restorasi Meiji, Pembelajaran Sejarah Bagi Bangsa Untuk  Indonesia Emas

Untuk itu Kresna menegaskan bahwa Dharma atau pengabdian dalam  kebenaran  (Tan Hana Dharma Mangrwa) harus menjadi prinsip penuntun dalam membuat keputusan. Menyangkut masalah Arjuna yang bertekad tidak mau menyakiti orang – orang yang dicintainya, Krisna sebagai Maha Raja, berujar dan mengingatkan, sebagai prajurit adalah sudah menjadi  kewajibannya. Memastikan dan menjunjung keadilan dan melindungi atas sesama yang teraniaya oleh rasa keadilan itu sendiri agar kebaikan selalu bersemayam pada setiap insan dan harus dijaga.

Dalam Bhagavad Gita atau disebut sebagai Weda kelima yang berarti nyanyian suci, merupakan sebuah kitab yang memiliki kedudukan penting dalam tradisi Hindu. Dimana ajaran universal dalam kitab Bhagavad Gita diperuntukan untuk seluruh umat manusia sepanjang masa. Bukan saja pada umat tertentu akan tetapi untuk semua manusia, yang ditulis dalam epos Mahabharata.

Pelajaran yang kita dapatkan dari ini semua adalah, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dimana pada jaman Reformasi ini, ketidakadilan, keangkara murkaan, menuhankan agama, menuhankan harta benda, kekayaan dan tahta telah bersifat masif dan terstruktur. Korupsi merajalela sudah menjadi budaya, penegakan hukum yang rusak dimana hukum dijadikan lahan bisnis oleh para penegak hukum. Kerap terjadi hukum dibelokan, argumen hukum dipelintir. Seolah kejahatan, ketidak benaran di justifikasi menjadi kebenaran dalam hukum, merusak sendi sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Baca juga: Mencapai Indonesia Merdeka Sesuai Cita – cita Pendiri Bangsa

Itu sebenarnya pesan dari pada tafsir Bhagavad Gita, dalam peperangan dipadang Kurusetra dalam epos Mahabharata. Peperangan tersebut akan selalu ada, akan selalu terjadi antara keadilan melawan kejahatan, disepanjang jaman dan masa sepanjang manusia masih ada dan hidup di muka bumi.

Hidup dan kehidupan baik secara pribadi maupun dalam bermasyarakat berbangsa dan bernegara, tidak selalu hitam dan putih adakalanya abu – abu, ada biru, ada kuning, ada hijau ada merah itulah realitas. Dalam memaknai pesan Maha Raja Krisna dengan senjata Tjakra Weda-nya, kepada Arjuna di Padang Kurusetra saat perang Maha Bharata, kita harus Merefleksi dalam kehidupan masa kini.  Kita harus berjiwa kesatria seperti halnya Arjuna sebagai salah satu kesatria dari Pandawa Lima.

Pandawa Lima harus dimaknai sebagai Pancasila, dengan sila – silanya yang berjumlah lima, sebagai Dasar Negara, Pandangan hidup dan filosofi dalam berbangsa dan bernegara  bagi seluruh masyarakat Indonesia.  Diri kita harus bisa melawan hawa angkara pada diri kita, bahwa kita harus bisa menghilangkan ego pribadi, untuk kepentingan yang lebih besar yakni masyarakat luas dan bangsa serta negara.

Baca juga: Komisi Yudisial Macan Ompong, Tak Punya Kewenangan Menindak Berujung Maraknya Mafia Peradilan  

Apabila sudah timbul kesadaran adanya panggilan jiwa sebagai Arjuna, seperti dalam peperangan Maha Bharata dalam eposnya, maka tindakan mau menang sendiri, mengkafirkan saudara sebangsa yang berlainan keyakinan tidak akan ada, demikian juga ketidak adilan tidak akan terhadi dalam penegakan hukum, ketidak adilan dalam ekonomi, karena timbul kesadaran bahwa kita harus berbagi kepada sesame. Ketidak adilan dalam politik juga tidak akan terjadi karena memahami tujuan politik adalah mencapai  sebuah keadilan dan kesejahteraan dalam negara bukan mencapai kekuasaan dalam arti sempit untuk diri sendiri dan kelompoknya.

Adanya pemahaman bahwa diri kita sesungguhnya adalah Arjuna – Arjuna yang diutus oleh Yang Maha Kuasa sebagai pemimpin di muka bumi selaku hamba Tuhan, untuk menegakan keadilan memberantas keangkara murkaan, memberikan payung keadilan disaat hujan atau panas terhadap masyarakat  dan menyebarkan cinta kasih terhadap sesame. Semuanya akan bermuara kepada keadilan bagi masyarakat luas, bangsa serta  negara dan hal itu  harus dimulai dari diri kita sendiri  masing – masing.

Adanya korupsi sebagai budaya yang telah berurat berakar di negeri ini, dikarenakan kurangnya kesadaran dan pemahaman atas tugas kita dimuka bumi sebagai hamba sekaligus sebagai kesatria, pembela keadilan sebagaimana dengan Arjuna dalam epos Maha bharata  dalam perang di Padang Kurusetra.

Dalam kaitan penegakan hukum yang saat ini dipandang paling buruk dalam sejarah sejak berdirinya negara ini, harus dilakukan terobosan berani untuk memperbaikinya. Apakah tetap mempertahankan sistem yang ada saat ini atau mengganti sistem baru demi tegaknya keadilan dalam penegakan hukum. Para aparat hukum yang adil dan bersih, bertanggung jawab bukan saja pada atasan pada negara, akan tetapi juga terhadap Tuhan Yang Maha  Esa.

Bahwa peperangan antara yang hak dan batil, antara yang benar dan salah, antara yang jahat dan benar akan selalu ada dan terjadi pada setiap masa dan jaman. Ini karena sifat kedagingan dari diri kita yang telah membungkus Ruh kita yang suci yang terdiri dari elemen Bumi, air, kayu, api. Keempat unsur tersebut saling berebut untuk mengalahkan dan mengklaim sebagai pemenang.

Cahaya Ruh kesucian tersebut akan tertutup oleh angkara, oleh hawa amarah dan nafsu pada diri kita sendiri. Kita harus bisa memerangi diri didalam kita sendiri, sebagai bagian dari warga negara, bagian dari mayarakat dan bagian dari alam semesta. Itulah pemaknanan dari dialog Sang Kresna dan Arjuna dipadang Kurusetra dalam perang Maha Bharata***

*Praktisi hukum, penulis dan pemerhati masalah sosial budaya, politik, hukum dan sejarah bangsanya

Berita Terkait